Terbit
12/4/2022
Diperbarui
13/8/2022

Bangsa Majemuk yang Dirajut Pancasila

Ketika keyakinan tak bisa menyatukan, Pancasila menautkan. Ketika suku memisahkan, Pancasila menyambungkan.
Foto: freepik.com
Ganjar Pranowo

KETIKA merumuskan dasar negara di hadapan anggota sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada 1 Juni 1945, Bung Karno menyampaikan intisari makna Pancasila beserta aplikasinya.

Kata Bung Karno, Pancasila yang terdiri dari lima sila, bisa diringkas menjadi tiga, yakni sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan.

Ketika tiga sila itu mesti diringkas lagi, Bung Karno mengungkapkan, bahwa intisari serta aplikasi dari semua sila itu adalah gotong royong. Peringkasan itu dilakukan Bung Karno agar anggota sidang mudah memahami sekaligus punya gambaran bagaimana Pancasila itu diaplikasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Akhirnya, Pancasila ditetapkan sebagai dasar dan ideologi negara Indonesia.

Pengungkapan Pancasila beserta intisari maknanya itu merupakan peristiwa sejarah penataan fondasi negara kita. Sebuah episode awal yang sangat menentukan nasib sekaligus pola kehidupan generasi setelahnya, termasuk kita.

Pancasila, sejak dalam gagasan telah dinyatakan sebagai pendobrak sifat egoistik.

Maka dalam setiap silanya, tidak satu pun yang merujuk pada agama tertentu, suku tertentu, wilayah, atau bahkan golongan tertentu. Dia bisa bersemayam di seluruh sanubari manusia yang berdiri tegak di bawah kibaran bendera Merah Putih.

Rasanya memang menegangkan leher dan kepala jika kita membicarakan nilai-nilai filosofis Pancasila. Namun, berbeda saat mengaplikasikannya. Karena setiap kita melakukan perbuatan yang tidak merugikan orang lain, setiap kita melakukan perbuatan yang membuat senang orang lain, itu merupakan laku Pancasilais.

Itu adalah aplikasi sila-sila dalam Pancasila. Jangankan sekolah atau kuliah, kita makan, kerja, traveling bahkan nge-game pun bisa masuk dalam kategori sebagai pengamal Pancasila.

Beberapa waktu sebelum pandemi, saya dapat undangan sedekah bumi di Desa Kalimanggis, Kecamatan Kaloran, Kabupaten Temanggung. Jaraknya 150 km dari rumah dinas yang saya tempati.

Karena jalanan ke sana naik turun bukit, saya pikir akan lebih asyik jika motoran. Dan, benar-benar menyenangkan pemandangannya, ditambah di beberapa titik harus menembus kabut.

Setelah sekitar dua jam mengendarai motor, saya menemui orang-orang berjalan kaki menuju lokasi acara. Yang anak-anak mengenakan kaos oblong,bapak-bapak ada yang sarungan dan berpeci, ada yang berpakaian biasa ditambah pakai udeng-udeng dan ada juga yang berpakaian serba hitam.

Begitu juga dengan ibu-ibu, kostum mereka tidak seragam sebagian ada yang mengenakan gamis,sebagian yang lain mengenakan kemben dan kebaya.

Begitu saya dipersilakan duduk, di samping saya berjejer tujuh sampai sepuluh orang. Pakaiannya tidak ada yang sama. Saya pikir mereka perangkat desa dan karena ini acara sedekah bumi mereka sengaja mengenakan pakaian adat, sama seperti hadirin yang lain.

Ternyata saya keliru. Yang duduk di samping kanan kiri saya dengan pakaian yang berbeda ini adalah para pemuka agama dan aliran kepercayaan: Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, dan aliran kepercayaan Sapta Darma. Warga yang mengenakan pakaian beragam dan jalan beriringan ke lokasi acara itu adalah pengikutnya.

Laku yang diterapkan warga Desa Kalimanggis adalah keyakinan, bahwa sejak dalam kandungan mereka memang berbeda. Maka, begitu lahir mereka tidak membeda-bedakan.

Yang Islam, berjalan sesuai laku keislamannya, yang Katolik,Protestan, Hindu, Buddha, dan penganut kepercayaan, menerapkan laku sesuai ajaran masing-masing.

Gereja dan masjid berjejeran, jadi hal biasa bagi mereka. Yang Protestan membantu acara halal bi halal, buka sesuatu yang aneh bagi mereka. Yang aneh bagi mereka adalah jika ada orang merasa aneh dengan kehidupan keseharian mereka.

Sama halnya ketika kita saat ini ada orang yang merasa aneh dengan sistem Android atau iOS, itu adalah orang aneh. Tingkat persatuan dan toleran kita, ibarat strata, sudah berada di level S3 atau doktoral. Jangan sampai kita downgrade karena ketidakmampuan atau kejumudan pikiran kita sendiri.

Ini adalah fondasi dasar negara kita, yang bhinneka, berbangsa-bangsa, bersuku-suku dan beragam agama. Jika kita belum khatam perkara itu, secara personal maupun komunal, bisa kita simak, pasti tidak akan berkembang karena tidak sempat memikirkan kemajuan zaman.

Satu-satunya cara agar kita bisa leading ketika perkembangan zaman datang, kita harus tuntas meyakini bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia ini adalah bhinneka tunggal ika. Saya tidak heran kenapa anak-anak generasi milenial sampai generasi Z begitu cepat menyesuaikan diri dengan segala kemajuan.

Ya karena mereka tidak mengotori pikiran mereka dengan urusan membeda-bedakan, entah agama kawannya, suku follower-nya, sampai warga negara subscriber-nya. Mustahil dong mereka memberi notice selain agama ini, suku ini dilarang nge-follow, dilarang subscribe. Jika ada yang seperti itu, silakan simak, seberapa jauh pemikiran mereka.

Dunia saat ini sudah berada dalam zona tanpa batas. Tembus garis sejauh-jauhnya. Tembus pengetahuan dan pengalaman sebanyak-banyaknya. Tapi, ingat, jangan sampai kita jadi inferior atau, bahkan insecure ketika membicarakan diri kita, ketika membicarakan masyarakat kita, ketika membicarakan negara kita.

Seberapakah kesiapan kita? Silakan tengok diri sendiri, seberapa kita siap menghadapi kehidupan di tengah masyarakat. Karena itulah modal utama kita di era tanpa batas ini.

Maka, norma agama serta norma kemanusiaan dari belahan bumi Indonesia bagian manapun akan selalu tepat jika dipadukan dengan Pancasila. Inilah penguat negara kita, rajutan erat yang mengikat antaragama, antarsuku,antarwilayah beserta segenap pemerintahan dan rakyatnya.

Bisa kita bayangkan, jika di negara kita ini hanya berasaskan pada salah satu agama atau golongan? Sementara ada enam agama dan beberapa aliran kepercayaan yang dianut masyarakat di negeri ini. Sementara ada 1.340 suku yang bersemayam hidup di negara ini.

Ketika keyakinan tidak bisa menyatukan, Pancasila yang menautkan. Ketika suku memisahkan, Pancasila yang menyambungkan. Ketika wilayah menjauhkan, Pancasila yang mengeratkan.

Karena spiritnya seperti itu, maka Bung Karno akhirnya merumuskan, bahwa inti dari semua sila itu adalah gotong royong. Bangsa dan negara ini satu untuk semua. Tidak ada egoisme kelompok, tidak ada egoisme agama, tidak ada egoisme suku. Terima kasih.[]