Terbit
25/5/2022
Diperbarui
13/8/2022

Beradaptasi dengan Ruang Sekolah Digital

Jangan sampai para siswa menganggap guru-guru sebagai orang yang justru ketinggalan zaman.
Foto: freepik.com
Ganjar Pranowo

DUNIA digital telah membuka banyak peluang, banyak kemungkinan, sekaligus banyak fenomena. Fenomena crazy rich juga lahir dari “rahim” alam digital. Begitu pula dengan para selebgram, youtuber, dan influencer.

Semua sudah mengarah ke sana: ruang digital. Termasuk, juga sektor pendidikan. Sekolah dan guru berduyun-duyun masuk ke ruang digital. Tapi bedanya, jika pelaku ekonomi, pegiat sosial, peneliti sosial budaya sampai entertainer masih bertahan dan semakin menggilai dunia digital meski pandemi berangsur membaik—maaf beribu maaf—untuk teman-teman guru justru kebanyakan memilih kembali pada cara-cara manual.

Padahal sebelum pembelajaran tatap muka dimulai, banyak sekali inovasi pembelajaran yang muncul. Kekhawatiran saya cuma satu: jangan sampai siswa menganggap guru sebagai orang yang ketinggalan zaman.

Di masa awal pandemi dulu, saya sempat shock ketika suatu pikiran melintas di pikiran. Sudah beribu-ribu tahun, sejak era Plato, Aristoteles atau bahkan lebih, cara pembelajaran kita ini sama. Tidak mengalami perubahan atau pembaruan apa pun.

Teknologi sudah berkembang sedemikian rupa. Guru tetap di depan kelas, siswa tetap duduk berjajar menghadap papan tulis atau sejenisnya.

Tradisi ribuan tahun itu, langsung gugur, langsung rontok ketika pandemi datang. Seketika pula, “covid” langsung memberi solusi bahwa kelas tidak mesti tatap muka. Dan, itu bisa terlaksana.

Hasilnya bagaimana? Banyak orang yang akhirnya meragukan kemampuan siswa. Bahkan, tidak sedikit masyarakat kita yang mengeluarkan cibiran, “halah cuma generasi lulusan covid kok bangga.”

Sudah jadi hukum alam, tradisi apa pun yang baru dilahirkan selalu akan mengundang kecaman dan kontroversial. Namun, sekuat apa pun kemampuan kita, tidak akan pernah bisa menolak kehadiran tradisi baru itu.

Dari ruang konferensi kerja pengurus PGRI Jawa  Tengah ini saya sangat berharap, lahir sebuah formula bagi guru agar semakin mahir menyelami dunia digital. Penguasaan dunia digital harus jadi kompetensi dasar untuk seluruh guru di Republik ini.

Jangan sampai para guru buffering ketika siswa bertanya soal metaverse. Guru-guru jangan sampai buffering ketika siswa tanya tentang crypto, tentang blasting, tentang engagement, push rank, big data, NFT, OpenSea, sampai e-comerce. Karena, semua itu adalah santapan mereka sehari-hari.

Secanggih apa pun perkembangan teknologi, dia tidak akan pernah bisa melahirkan sebuah rasa. Teknologi tak punya empati, teknologi tak mengandung simpati, teknologi tak mengenal tata krama.

Dan, perkara itulah yang memperbesar “pekerjaan rumah” kita semua, para guru khususnya. Jika itu bisa terlaksana, insyaallah ruang sekolah akan menghadirkan cermin-cermin kehidupan di masa sekarang dan di masa yang akan datang. Terima kasih.[]