Terbit
11/7/2022
Diperbarui
13/8/2022

Catatan Manajemen Cinta pada Warga

Karena cinta maupun benci yang saya terima, tidak akan memengaruhi kerja saya. Ini adalah amanah.
Foto: freepik.com
Ganjar Pranowo

BUKAN soal berapa lama kita memegang tanggung jawab, tapi seberapa besar energi yang kita curahkan ketika mengemban amanah itu.

Ini bukan tentang gengsi, apalagi tentang untung rugi. Tapi, sebuah laku yang mesti diterima dan dijalani sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.

Yang jelas, bisa saja kita memimpikan kelak akan jadi apa. Namun realitas, merupakan ruang sejuta kemungkinan yang tidak bisa kita tembus batasnya.

Hak kita hanya menginginkan atau memimpikan, tidak lebih. Maka ketika sesuatu yang kita inginkan, padahal itu adalah sesuatu yang diinginkan banyak orang, sudah semestinya kita bersyukur.

Bagaimana caranya bersyukur? Menerima dengan sebaik-baiknya dan melakukan sehormat-hormatnya.

Bagi pemimpin, apa sih yang lebih memuaskan dari pada selalu berada dalam sanubari warganya, dalam sanubari semua saudaranya?

Banyaknya pembangunan, megahnya kemajuan dan pesatnya perekonomian tidak akan berarti apa pun jika kita gagal mengetuk satu persatu hati warga.

Bukan berarti pula ini sebuah alibi bagi pemimpin untuk tidak melakukan apa-apa asal bisa berada di hati warga. Bukan, bukan itu.

Ini adalah soal kepuasan batin masyarakat melihat kerja, kinerja serta laku kita sebagai seorang pemimpin.

Nah dari situ, sebuah penilaian ringkas bisa kita layangkan, bagaimana sih sebenarnya seorang pemimpin menjalankan amanahnya.

Jika kita menyangsikan, entah seberapa kadarnya penyangsian itu, kita bisa test case langsung ke kampung-kampung, pasar, gardu ronda, tempat anak-anak bermain bola atau bahkan ke pegawai pemerintahan.

Tidak perlu kita sodorkan pertanyaan atau penilaian warga tentang sosok pemimpin. Kita lihat saja bagaimana respon warga ketika melihat pemimpinnya duduk di tempat umumatau sekadar lewat di hadapan mereka.

Respons yang mereka berikan itulah semurni-murninya penilaian terhadap (kerja dan kinerja) pemimpinnya. Asalkan duduk atau langkah itu dilakukan dengan hati, maka hatilah yang akan menerima dan memberi balasannya.

Sebenarnya, ungkapan-ungkapan di atas itu bukan untuk orang lain, tapi juga untuk saya secara pribadi. Bahkan, sampai sekarang saya sendiri masih gamang, apakah yang saya lakukan selama ini bersumber dari hati atau menuruti gengsi? Atau bahkan jangan-jangan sekadar cari sensasi.

Saya juga sering bertanya-tanya, sebenarnya seberapa menancapkah saya ini di hati warga Jawa Tengah? Yang menancap di hati mereka itu apakah karena saya (kebetulan) menjabat sebagai gubernur atau benar-benar karena personal saya sebagai Ganjar?

Tapi, pertanyaan-pertanyaan itu akan cepat-cepat saya singkirkan. Karena cinta maupun benci yang saya terima, tidak akan memengaruhi kerja saya, tidak akan memengaruhi hormat saya pada semua, tidak akan memengaruhi cinta dan sayang saya pada semua. Karena bukankah kita tidak perlu menjelaskan kebaikan kita di hadapan pembenci?

Bukankah tidak perlu mengungkap keburukan kita di hadapan pecinta? Selama ini yang jadi urusan saya adalah mencintai, bukan membenci.

Saya dan seluruh rakyat Indonesia, warga Jawa Tengah khususnya adalah layaknya keluarga, bisanya hanya saling mengingatkan. Layaknya keluarga, saya merasa bahagia jika ada saudara memeroleh penghormatan.

Tak peduli berapa lama, tak peduli seberapa lingkupnya. Karena itu adalah tanggung jawab yang mesti diterima dan dilakukan.

Jika Anda ingin merasa apa yang saya rasa ini, silakan tuntaskan membaca satu per satu halaman perjalanan hidup Anda.[]