Dukung Petani Bawang Putih, Jangan Impor Terus

DARI 500 sampai 600 ribu ton kebutuhan bawang putih nasional per tahun, ternyata kita hanya mampu memproduksi 90 ribu ton. Benarkah bawang putih tidak bisa tumbuh di sini? Atau, karena ada perkara lain? Mari kita kupas.
Dulu beberapa daerah di tanah air jadi sentra bawang putih. Dari Sembalun di NTB, Batu di Malang Jawa Timur, Temanggung di Jawa Tengah, Tasikmalaya di Jawa Barat, hingga Minahasa di Sulawesi Utara.
Para petani di daerah-daerah itu, bahkan menyebut bawang putih sebagai emas putih karena hasil panennya membawa kemakmuran. Hasil kerja petani itu pernah membuat negara kita ini swasembada bawang putih.
Namun, begitu pelaku usaha mengetahui di luar negeri harga bawang putih jauh lebih murah, mereka langsung melakukan impor. Itu terjadi sejak 1996.
Sejak itu pula, status swasembada bawang putih negara kita ini hilang. Diawali impor sebanyak 50 ribu ton di tahun 1996 dan 1997 dan menjadi 150 ribu ton di tahun 1998. Sejak itu, impor terus meningkat.
Awalnya petani masih yakin bakal bisa bersaing. Namun, belakangan, banyak yang memilih banting setir. Ogah berurusan dengan bawang putih sampai sekarang.
Buktinya, dari 500 ribu ton kebutuhan bawang putih nasional, 97 persennya adalah hasil impor. Para petani bawang putih hanya mendapat alokasi 3 persen atau sekitar 15 ribu ton saja.
Jika produksi bawang putih nasional 90 ribu ton per tahun, sementara yang terserap hanya 15 ribu ton, berarti ada 75 ribu ton bawang putih petani kita yang tidak terserap. Pantas saja jika petani teriak-teriak minta hentikan impor.
Karena itu, saya sangat mendukung ketika Presiden Jokowi ke Food Estate di Wonosobo ngobrol dengan petani bawang dan ada keluhan, beliau langsung menelepon Menteri Perdagangan dan meminta untuk mengontrol harga bawang putih terutama saat petani panen. Sebab ini perjuangan kedaulatan pangan kita.
Masak sih selama puluhan tahun kita tidak bisa mengembangkan pertanian bawang putih? Masak sih, kita mau impor terus.
Setidaknya, jumlah impor tiap tahun bisa turun lah. Negara kita pernah swasembada, loh. Artinya kita punya kekuatan dan kemampuan untuk itu.
Untuk itu, yang pertama dan utama adalah data pemetaan lahan dan kemampuan produksi dalam negeri harus jelas. Lalu, data terkait kapan mulai tanam, kapan panen, di mana saja dan berapa jumlahnya.
Dari data itu kita bisa bikin acuan impornya. Jangan sampai kita tidak tahu kemampuan produksi kita dan sembarangan impor ketika petani sedang panen. Harga pasti jatuh.
Relasi antara petani, pemerintah, dan pengusaha importir menjadi sangat penting. Jangan sampai jalan sendiri-sendiri. Yang bisa memfasilitasi itu, ya, pemerintah.
Maka, pada 2019 muncul peraturan untuk menjalin relasi itu menurut saya itu sudah tepat. Bahwa harga bawang putih sempat anjlok karena peraturan itu, menurut saya itu wajar karena efek kejut peraturan baru.
Mestinya kita kawal terus peraturan itu agar lahir win-win solution agar petaninya aman, pengusahanya lancar dan kita tidak terus-terusan bergantung pada negara luar.
Ini persoalan penunjang pangan, bung! Jangan sampai pemerintah cuma melakukan perluasan tanam sementara daya serapnya terlupakan.
Jika Bung Karno mengatakan bahwa persoalan pertanian dan pangan ini adalah persoalan hidup matinya sebuah bangsa, maka program Food Estate yang diluncurkan Presiden Jokowi itu merupakan sebuah upaya untuk menjaga harkat dan martabat negara. Tetap semangat, terus menanam dan selalu jaga kewarasan.[]
Naskah ini petikan dari "Ruang Ganjar" yang diunggah di YouTube Ganjar Pranowo.