Terbit
15/4/2022
Diperbarui
17/8/2022

Ganjar Remaja (1): Jualan Bensin dan Hobi Berburu

Ganjar sejak kecil adalah anak pandai bergaul sehingga banyak teman. Ganjar berpembawaan mandiri dan suka menolong.
Sarapan pagi bersama istri di rumah orangtua di Kutoarjo, Purworejo, pada 2013. | Foto: Tribun Jogja/Rento Ari N

KUTOARJO menjadi kota kecil yang membentuk Ganjar Pranowo anak-anak menjadi remaja awal. Salah satu kesenangan Ganjar kala itu ialah berburu dengan senapan angin.

Ganjar punya teman dekat yang jago nembak. Namanya Ganjar pula, anak seorang guru STM dan pemilik bengkel terkenal di daerah itu.

Sebetulnya Ganjar remaja tak pandai-pandai amat dalam menembak, tapi dia menyukai aktivitas ini.

“Tak jarang aku hanya menghabiskan peluru tanpa mendapatkan hasil apa pun,” cerita Ganjar seperti digambarkan dalam novel “Anak Negeri: Kisah Masa Kecil Ganjar Pranowo” karya Gatotkoco Suroso.

Ia biasa berburu burung di sawah-sawah, dekat rumah pakdenya di daerah Kroyo. Saat itu, duet Ganjar mencari burung pipit yang memang sedang banyak-banyaknya di sawah karena sedang datang musim panen. “Ganjar adalah penyerang utama, sedangkan aku bertugas melakukan pengintaian dan mencari lokasi menembak,” tutur Ganjar.

Ganjar memang tergolong anak yang pintar bergaul. Selama di Tawangmangu, ia memiliki geng lima sekawan semasa sekolah dasar, bersama Dowig, Kamso, Ngadimin, dan Joko. Kamso suatu kali pernah bercerita bahwa Ganjar sebetulnya sama nakalnya dengan dirinya, tapi lebih pintar. Sementara, Dowig akhirnya menjadi keluarga besar karena kakaknya, Mbak Ika, menikah dengan Mas Kunto (Pri Kuntadi), kakak pertama Ganjar.

Saat pindah di Kutoarjo, ia juga memiliki kawan karib, seperti Kelik, Ganjar, Tomi, Anteng, Slamet, Radi, dan Edi. Keprigelan Ganjar dalam bergaul ini juga diceritakan oleh kakaknya Prasetyowati Tyas Purwani alias Mbak Watik.

Yang menonjol dari Ganjar sejak kecil adalah pandai bergaul sehingga punya banyak teman. Ganjar memang memiliki pembawaan mandiri dan suka menolong, kata Mbak Watik. Semasa sekolah dasar, kata dia, Ganjar bukanlah siswa yang menonjol secara akademik. “Ketika SD nilai rapornya pas-pasan,” ujarnya dikutip dari buku “Kontroversi Ganjar” yang ditulis oleh empat wartawan.

Namun, Ganjar termasuk siswa yang aktif di sekolah. Ini terbukti ketika dirinya ditunjuk sebagai wakil kelas untuk acara Pramuka antarsekolah.

Selain berburu, Ganjar dkk juga suka mencari jangkrik di sawah. Lokasi pencarian cukup jauh, daerah Donglo, Kemiri. Dengan sepeda bapaknya, Ganjar harus mengayuh sepeda untuk menuju ke lokasi sejauh enam kilometer. Perburuan jangkrik ini ternyata hingga magrib tiba; kejadian ini sampai-sampai dicemaskan oleh Mbak Watik yang menunggu di rumah karena adiknya tidak pulang-pulang.

Begitu sampai di rumah, Mbak Watik sempat mengomeli Ganjar karena main tidak ingat waktu meski sudah dijelaskan bahwa ia telah pamit sama ibu. Mas Budi, yang kala itu sudah berkuliah di Yogyakarta dan sedang pulang ke Kutoarjo, pasang badan. “Ora popo, Njar… cah lanang kok. Sesekali pulang agak malam, ya tidak apa-apa, kan sudah minta izin sama ibu,” Mas Budi membela.

Sebagai anak lelaki bungsu, kepedulian Ganjar dengan keluarga begitu besar. Ini ditunjukkannya sejak dirinya masih sekolah dasar, ketika harus memeriksa aliran air pipa paralon dari Gunung Lawu yang mampet, bersabar tak punya sepatu atau seragam baru, hingga membantu ibunya berjualan.

Selama di Kutoarjo, Ganjar dan Mas Joko, kakak nomor tiga, adalah anak lelaki yang menyokong usaha ibunya. Masa bermain memang sesekali dilakukan, seperti berburu itu. Namun, sejak kakaknya, Mas Kunto menikah dan tinggal di Yogyakarta, lalu Mas Budi (Pri Pambudi Teguh) bekerja, Ganjar tidak terlalu bebas lagi untuk bermain. “Ada tanggung jawab yang dibebankan di atas bahu kami berdua. Mas Joko belanja keperluan warung, aku bertanggung jawab untuk belanja bensin,” cerita Ganjar.

Ia mendapat jatah untuk mengurusi jualan bensin. Setiap shalat Subuh, ia kulakan bensin di pom bensin Andong. Kemudian, ia memindahkan bensin ke kemasan-kemasan botol literan. Ia juga yang melayani dan menuangkan bensin ke tangki motor pembeli. “Bagiku menyapu, mengisi botol bensin, dan menemani ibu membeli barang di pasar adalah sesuatu yang menyenangkan,” ujar Ganjar.

Suatu kali ia pernah ditegur ibunya karena membawa dua jeriken bensin sekali jalan. Sang ibu mengatakan agar membawa dua jeriken yang berisi masing-masing 20-an liter bensin itu satu per satu. “Kasihan tanganmu, nanti sakit,” ujar Sri Suparni.[]AN