Terbit
15/4/2022
Diperbarui
16/9/2022

Ganjar Remaja (2): Musik Rock dan Omelan Bapak

Setelah dibakar, peluru itu meletus. Suaranya berdentum keras. Melobangi tembok. Parmudji marah besar ke Ganjar.
Ganjar mendorong sang bapak Parmudji di Kutoarjo, Purworejo pada 2013. | Foto: Merdeka.com

DI ERA 1980-an, musik rock sedang di masa kejayaannya, digandrungi para muda-mudi di dunia, termasuk di Indonesia. Band-band rock asal luar negeri seperti Led Zeppelin, Deep Purple, Scorpions, atau Guns N’ Roses adalah di antara yang populer.

Di usia remaja kala itu, Ganjar Pranowo pun ikut dalam gelombang kegandrungan itu. Ia pun mulai menghafal lagu-lagu dan mengidolakan band rock, serta mengoleksi sejumlah kaset. “Waktu itu musik rock menjadi musik yang amat aku sukai,” tutur Ganjar, seperti digambarkan dalam novelis Gatotkoco Suroso dalam “Anak Negeri: Kisah Masa Kecil Ganjar Pranowo”.

Menjadi rocker adalah impian yang sangat menyenangkan bagi remaja-remaja seusia Ganjar kala itu. Rock dianggap mengekspresikan kebebasan, katanya.

Bersama teman karibnya di SMP Negeri 1 Kutoarjo, Ganjar terbiasa blusukan ke Pasar Kutoarjo demi mencari kaset yang diimpikannya. Yang dicarinya bukan kaset baru, tapi kaset bekas. Harga kaset kala itu sekitar Rp500.

Diceritakan, suatu kali Ganjar senang sekali mendapatkan album kaset Iwan Fals berjudul Tiga Bulan. Sebetulnya, kaset ini bukanlah yang dicarinya. Karena penasaran, ia pun membelinya seharga Rp500.

Salah satu lagu yang membuat dirinya tertarik bertitel “Ibu”. “Liriknya begitu sederhana, tapi sungguh menyentuh. Aku segera teringat akan ibuku, yang selalu sabar membimbingku meski hidup penuh kesederhanaan,” kata Ganjar.

Mengenai sosok ibu, Ganjar memang begitu halus dan sangat perasa dengan ibundanya. Tentang hal ini, ada salah satu kejadian yang membuat Ganjar merasa menyesal dan minta maaf kepada orangtuanya. Ini gara-gara geger ledakan di rumah.

Bermula dari ide temannya, Kelik, untuk membuat kalung dari sebuah peluru. “Demi mengikuti gaya penyanyi rock, muncullah ide membuat bandul kalung dari peluru,” Ganjar mengisahkan kejadian itu.

Kala itu Ganjar tak setuju dengan ide tersebut. Ia paham bahwa itu bukan sembarangan barang. Bapaknya bisa marah jika barang-barangnya, apalagi peluru, diambil dan dibuat mainan. Setelah dibujuk rayu, Ganjar pun setuju saja. “Dasar remaja tanggung berpikiran pendek, ketakutanku malah kalah oleh hasrat mengikuti gaya sang idola,” ceritanya.

Bersama tiga temannya, Ganjar menyelinap di gudang rumah, mengambil peluru-peluru milik bapaknya. Parmudji, sang bapak, adalah seorang polisi di Polres Purworejo.

Setelah mereka mendapatkan barang yang dicari, tiba-tiba mereka kebingungan bagaimana caranya membuat bandul, sedangkan peluru dan selongsong masih menyatu. Tebersit ide untuk membakarnya agar bisa mendapatkan selongsong. Namun, mereka takut juga karena peluru itu masih aktif, masih berisi bubuk mesiu.

Akhirnya mereka tetap berkeputusan untuk membakar. Peluru dicapit dengan tang, lalu dibakar di bagian pangkal peluru. Setelah beberapa menit, akhirnya peluru itu meletus. Suara letusan karena mesiu terdengar begitu keras. Sangat bising. Sampai-sampai tetangga melongok mencari tahu apa yang sedang terjadi. Tembok yang terkena peluru langsung berlubang dan retak.

Parmudji mendengar dan melihat kejadian itu. Ganjar pun dipanggil, disetrap.

“Kamu tahu, tidak? Peluru itu milik negara yang dibeli dari pajak rakyat. Satu butir peluru yang keluar harus bisa dipertanggungjawabkan, tidak seenak-enaknya saja bisa kamu ambil…bapakmu ini polisi … lha, kok anak bapak sendiri malah berbuat begitu? Kamu itu mau jadi apa kalau tidak bisa diomongi?” ujar Parmudji. Gambaran kemarahan sang bapak itu dituliskan ulang oleh Suroso di novelnya.

Kata-kata bapaknya itu membuat perasaan hati Ganjar menciut. Air matanya meleleh deras, membelah pipinya. “Mati-matian aku berusaha menelan suara tangis. Aku sungguh-sungguh menyesal,” ujarnya.

Ganjar meminta maaf kepada bapak dan ibunya, mengaku bersalah dan berjanji takkan mengulangi perbuatannya juga mengecewakan mereka lagi. Sang ibu, Sri Suparni memeluknya, sembari mbombong (membesarkan hati) dan mendoakannya. Kata-kata ibunya itu makin membuat sedu sedannya pecah. Ganjar memeluk tubuh ibunya erat, sedangkan kakaknya, Mbak Watik dan adiknya, Nur pun ikut-ikutan memeluknya.

Karena ulah nggelidik (nakal) itu, Ganjar harus menerima hukuman. Uang saku dipotong separuh. Setiap bapaknya berdinas, Ganjar juga harus yang menyiapkan kopel, sepatu, dan tanda pangkat. Dan, terakhir, ia tidak boleh bermain ke luar rumah selama sepekan.[]AN