Terbit
13/5/2022
Diperbarui
13/8/2022

Kampus Biru (1): Digembleng Pancasila 100 Jam

"Sebagai mahasiswa baru, kami digembleng tentang Pancasila dan wawasan kebangsaan,” ujar Ganjar.
Humas Pemprov Jateng

TAHUN 1987, Ganjar Pranowo masuk sebagai mahasiswa baru di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Mengawali hari pertama masuk “Kampus Biru”, julukan UGM yang konon merujuk pada novel Ashadi Siregar berjudul “Cintaku di Kampus Biru”, Ganjar mengenakan celana pemberian kakaknya, Mas Kunto. Sementara, ia menggamit tas ransel lungsuran dari bapaknya, Parmudji.

Ada tradisi kampus kala itu yang mengharuskan mahasiswa mengikuti program penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) seratus jam. Ini materi penataran yang wajib dilalui oleh para mahasiswa, kurang lebih selama dua pekan.

“Sebagai mahasiswa baru, kami digembleng tentang Pancasila dan wawasan kebangsaan,” ujar Ganjar seperti digambarkan dalam novel “Anak Negeri: Kisah Masa Kecil Ganjar Pranowo” karya Gatotkoco Suroso.

Penataran P4 merupakan program pemerintah Orde Baru untuk memasyarakatkan Pancasila yang mulai digagas sejak 1978. Sebagai program nasional, kala itu pemerintah membentuk suatu badan pusat yang mengoordinasi seluruh kegiatan tersebut secara menyeluruh. Badan itu dikenal dengan BP7.

Agar masyarakat makin menghayati nilai-nilai Pancasila, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mengeluarkan ketetapan “36 Butir-Butir” sebagai pengamalan Pancasila melalui Ketetapan MPR No II/MPR/1978. Butir-butir ini turunan dari lima sila dan disebut sebagai “Ekaprasetia Pancakarsa”.

Selama mengikuti penataran itu, seluruh mahasiswa baru dicampur. Ganjar sendiri bergabung dengan mahasiswa Fakultas Psikologi. Hal ini yang membuat dirinya mulai memiliki banyak kawan di awal-awal kuliah.

Di Fakultas Hukum, Ganjar kemudian bertemu dengan seorang lelaki bertubuh gempal, pendek dan berambut tegak alias “njabrik” (Jawa).  Lelaki asal Yogya itu memperkenalkan diri dengan nama “Jabrik”, padahal aslinya bernama Sugeng Triyono.

Bersama Jabrik inilah, Ganjar melalui masa-masa kuliah yang penuh suka dan duka. Apalagi keduanya memiliki kesukaan pada hal yang sama: mendaki gunung. Rumah mereka juga tak begitu jauh, sehingga Ganjar sering nebeng Jabrikyang punya sepeda motor. Mereka berkawan karib.

Ganjar tinggal bersama kakak pertamanya, Mas Kunto, yang seorang polisi dan istrinya, Mbak Ika, pegawai Imigrasi, yang berada tak jauh dari lapangan Sidokabul, Sorosutan, Kecamatan Umbulharjo.

Jabrik bercerita bahwa selama tinggal dengan kakaknya itu, sebetulnya Ganjar tak mendapatkan jatah kamar. Rumah kontrakan itu begitu sederhana, kecil untuk ukuran tiga orang dewasa dan dua anak-anak. “Ganjar itu di-sempilin di tetangga sebelah, nyempil. Kamarnya beda rumah. Jadi, ada kayak lorong kecil ke tetangga,” kata Jabrik.

Ruangan kecil itu tadinya untuk dipakai garasi, kemudian sama Ganjar disekat dengan lemari, lalu dialasi karpet. “Memang kondisinya seperti itu awal-awal saya kenal sama dia,” tutur Jabrik.

Selama semester pertama, tak banyak mata kuliah yang dia ambil. Ia pun memanfaatkan waktu untuk beraktivitas di organisasi mahasiswa. Ia mulai mengenal kegiatan eksternal kelompok gerakan mahasiswa; pernah ditawari masuk Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang saat itu memang populer dan berpengaruh di UGM.

Namun, saat itu kedua organisasi itu belumlah cocok bagi dirinya. Ia cenderung menyukai kegiatan pecinta alam. Di FH, terdapat organisasi paling tua, yaitu Mahasiswa Justicia Club yang berdiri 5 Mei 1979, terkenal dengan nama "Majestic-55", yang bergerak aktif di bidang alam dan lingkungan.

Di Majestic-55 sendiri ternyata banyak anggotanya yang aktif di GMNI. “Ganjar itu tiap hari ngumpul, debat, dan diskusi, ya sama anak-anak GMNI,” cerita Jabrik.

Untuk membuat kesan GMNI biar terlihat halus, saat itu ada sebuah studi klub bernama “Gemini”, semacam plesetannya. Menurut Jabrik, klub ini lebih ke kelompok belajar yang membahas soal-soal ujian yang biasa disediakan mahasiswa senior. Soal-soal ini biasanya distempel dengan tulisan “Kelompok Studi Gemini”, lalu diperbanyak dengan mesin fotokopi. Gemini saat itu begitu viral di seantero fakultas, sehingga “Bocah Gemini” sering dikaitkan dengan jaringan GMNI.

Ganjar pun mulai kenal dengan kakak-kakak tingkat yang berorganisasi. Ia turut dalam kegiatan sejumlah organisasi, seperti seminar atau lainnya, meski tidak bergabung di dalam kepengurusan. Keikutsertaannya itu juga salah satu siasat bagi dirinya untuk menghemat pengeluaran. Biasanya ketika kegiatan berlangsung, peserta mendapatkan makanan. “Bila beruntung, akan ada tambahan alat tulis dan hadiah,” cerita Ganjar dalam novel “Anak Negeri”.[] AN