Terbit
3/6/2022
Diperbarui
13/8/2022

Kampus Biru (4): Dalam Naungan Majestic-55

Ganjar terpilih sebagai ketua. Tugasnya berat karena mewarisi kondisi organisasi yang kurang baik.
Ketua Majestic-55 2021-2022 Wisang alias Biting sedang melihat foto-foto kegiatan yang pernah diadakan pendahulunya. Foto: Ganjarpranowo.com/AN

MASUK Universitas Gadjah Mada, Ganjar Pranowo muda bukanlah mahasiswa yang gemar urusan politik. Di awal-awal kuliah, ia sama sekali kurang berminat dengan dunia politik.

Sebagai anak lereng Gunung Lawu, darah alamnya lebih kuat; cintanya pada alam membuat ia memilih masuk organisasi mahasiswa pecinta alam. Menjadi anak mapala ini juga ada pengaruh dan dorongan sahabat karibnya, Sugeng “Jabrik” Triono.

Di Fakultas Hukum, bersama Jabrik, ia bergabung ke Majestic-55—Mahasiswa Justicia Club. Ternyata organisasi sama sekali belum mengadakan pendidikan dasar (diksar) sejak 1986, ini yang sempat menimbulkan rasa kecewa dan pertanyaan dari anggota baru.

“Saat itu organisasi kacau, karena senior-senior banyak urusan, mulai KKN dan studi lainnya,” ujar Jabrik saat ditemui di Jakarta, medio Mei 2022.

Barulah pada 1988, Majestic melakukan diksar yang diikuti oleh angkatan 1986, 1987, dan 1988. Jumlah peserta yang ikut diksar sekitar 30 orang—dari angkatan ’87, hanya berjumlah lima orang, di antaranya Ganjar dan Jabrik.

Diksar berlangsung selama lima hari; dua hari di Wonosari, Gunung Kidul dan sisanya di lereng Gunung Merapi—tak jauh dari rumah Mbah Maridjan, juru kunci Merapi. Tugas pertama di Wonosari adalah bertahan hidup (survival).

“Kami di bawa dengan truk-barang terbuka. Turun dari truk, kami lalu diminta tidur di pinggir danau, kami bikin bivak di situ,” kenang Jabrik. Danau di Wonosari, berisi air kalau saat hujan. Sementara, saat kemarau, danau itu bisa buat lapangan sepakbola, guraunya.

Keesokan harinya peserta melakukan panjat tebing selama seharian. Dan, malam hari, sekitar dini hari, semua diajak untuk melakukan caving alias susur goa. Di sinilah, para peserta belepotan tanah karena harus merayap dan merangkak dari mulut goa.

Jangan dikira sehabis kotor-kotoran seperti itu, Ganjar dan kawan-kawannya mandi. “Namanya mandi enggak ada dulu, maksimal cuci muka. Mau berlumpur gimana pun, enggak mandi,” Jabrik tertawa mengenang masa itu.

Markas baru Majestic-55. Dipotret pada 27 Mei 2022.

Pelatihan kemudian bergeser ke lereng Gunung Merapi. Di sini para peserta, berlatih dengan materi peta kompas, navigasi, orientasi medan, dan bertahan hidup, serta search and rescue (SAR). Dalam latihan SAR, peserta diminta untuk mencari teman yang hilang atau tersesat.

Di mata Jabrik, di saat-saat diksar itulah, kepemimpinan Ganjar mulai terlihat. “Setidaknya karier kepemimpinan Ganjar itu dimulai dari menjadi ketua kelompok diklat,” ujar Jabrik.

Jabrik melihat bahwa Ganjar adalah anak yang pandai bicara, sangat khas di antara peserta diklat.

Bakat “retorika” ini pula yang membuatnya kelak cukup moncer baik di kalangan senior Majestic-55 maupun di Gelanggang UGM.

Diksar kelar, tapi Majestic-55 masih menyimpan problema. Yaitu siapa yang bakal memimpin organisasi tua di FH tersebut. Haris Yulianto, senior Majestic-55 angkatan 1979, kala itu menyebut dua orang: Jabrik atau Ganjar.

Namun, Jabrik yang sejak akhir 1988 mulai bergabung ke Mapagama, organisasi pecinta alam di tingkat universitas, menolak penunjukan itu. Mau tidak mau, Ganjar-lah yang terpilih untuk memimpin Majestic-55 masa bakti 1988-1990.

Kepengurusan baru Majestic-55 telah lahir. Di sini, posisi Ganjar cukup berat. Organisasinya bagai bayi baru lahir yang ditinggal oleh ibunya. “Para senior sudah sibuk dengan studi dan bekerja,” kata Jabrik.

Ganjar, Jabrik, dan teman-teman lain mau tak mau bersinergi, bagaimana caranya menghidupkan Majestic-55. Satu tekad mereka ialah meramaikan dan membuat organisasi bisa menyenangkan, tempat berkumpul dan lain-lain.

“Membuat kompak semua lini organisasi tidaklah mudah. Harus ada yang mengawali dan mendobrak tradisi yang kurang baik. Membangun kembali mapala ini dari awal agar menarik minat banyak orang adalah misiku dan teman-teman yang lain,” tutur Ganjar, seperti diceritakan novelis Gatotkoco Suroso dalam “Anak Negeri: Kisah Masa Kecil Ganjar Pranowo.”

Ketika penerimaan mahasiswa 1989, Ganjar dan Jabrik gencar mencari mahasiswa baru, merayu mereka agar masuk Majestic-55. Mereka berusaha mencari “intan-intan” yang potensial; bagai lengkingan hymne Majestic-55, “Sebutir intan yang gemerlap mengguggah embun yang tidur lelap...”

Sebagai panitia, mereka selalu pegang seksi acara sampai tahun 1991. Jadi, nama keduanya, seperti dwi tunggal, sangat dikenal di seantero fakultas. “Kami kompak banget dulu. Dari angkatan ’88 sampai ‘91 mesti kenal namanya Jabrik-Ganjar,” cerita Jabrik.

Bersama Jabrik dan Jonet, kakak tingkat 1986, Ganjar membawa Majestic-55 hingga 1990. Kedua temannya itu di mata Ganjar adalah sahabat yang selalu menemani di markas organisasi. Seperti halnya motor, Ganjar adalah pengendali setir, sedangkan Jonet ialah mesin yang selalu menggerakkan bagian dari motor dan Jabrik merupakan roda dua yang kokoh menyangga semua kerangka.

Anak-anak baru di Majestic-55 tidak langsung diajak diklat, tapi lebih pada hal yang senang-senang, seperti menyanyi dan pelatihan tali-temali.

Mereka diajak jalan-jalan ke rumah Mbah Maridjan untuk mengenal medan di Merapi. Setiap akhir pekan, jika tak naik motor, mereka naik angkot hingga Terminal Tlogo Putri di Kaliurang. Selanjutnya, mereka berjalan kaki sekitar tiga kilometer ke rumah Mbah Maridjan.

Banyak cerita di masa-masa itu; ada yang tersesat, ada juga yang keblusuk alias jatuh ke semak-semak, dan lain-lain. “Ganjar dulu itu seringnya pakai sarung, enggak pernah pakai jaket apalagi sweater. Dia spesialis belakang, sweeper,” ujar Jabrik.[]AN