Terbit
14/6/2022
Diperbarui
13/8/2022

Kampus Biru (5): Membela yang Lemah dan Peduli Sesama

Ia tak berpikir bahwa perjuangan aksinya itu bakal menang. Sesungguhnya perjuangan harus dimulai dan penindasan harus dilawan.
Bersama juru kunci Merapi Mbah Maridjan, tim SAR DI Yogyakarta dan Sekber PPA Yogyakarta dalam acara Labuhan Agung di Pos II jalur Kinaherjo Pendakian Gunung Merapi, 1994. Foto: Arsip pribadi

SELAMA masa kuliah, di lingkup teman-temannya di Majestic-55, Ganjar Pranowo dikenal sebagai sosok yang suka diskusi. Terlebih di organisasi pecinta alam tersebut, ia terlibat dalam studi klub “Gemini”, berisi anak-anak Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), organisasi mahasiswa ekstrakampus yang berideologi marhaen dan nasional.

Diskusi pun berjalan hampir setiap waktu. Di luar jam kuliah, sekretariat Majestic-55 menjadi ruang bagi Ganjar untuk mengasah ketajaman berpikir dan berargumen.

Ganjar memiliki kecakapan retorika yang cukup baik di antara kawan-kawannya di Majestic. Sugeng "Jabrik" Triono, sahabat karibnya selama masa kuliah, mengenal persis tentang kemampuannya itu.

“Ganjar itu kalau bercerita bisa membuat orang-orang di sekitarnya itu memperhatikan atau mendengarkan dia.  Jadi, daya tariknya itu sudah ada,” kata Jabrik yang kini pengusaha katering saat ditemui di Jakarta, medio Mei 2022.

Apalagi saat mengajar materi pecinta alam, Ganjar dianggap paling bisa menjelaskan secara mudah dan runtut sehingga peserta latihan menjadi cepat memahami.

“Bahasa tubuh, vokalnya, cara memilih kata-kata dan kalimatnya itu memang menarik. Orang akan tertarik kalau Ganjar itu ngomong,” cerita Jabrik.

Di masa-masa itu, Ganjar mulai tertarik untuk turut dalam aksi turun ke jalan, berunjuk rasa menentang ketidakadilan. Mulai isu-isu lokal hingga nasional, salah satunya terkait dengan proyek Waduk Kedung Ombo yang dibangun di perbatasan tiga Kabupaten Grobogan, Sragen, dan  Boyolali, Jawa Tengah.

“Awal-awal demo ya ikut-ikutan saja. Tapi, memang Ganjar memiliki sisi idealis, rasa keberpihakan dan memperjuangkan rakyat. Dia merasa tidak tenang tentang ketidakadilan,” ujar Jabrik.

Di novel “Anak Negeri: Kisah Masa Kecil Ganjar Pranowo” karya Gatotkoco Suroso juga diceritakan tentang pengalaman demonstrasi di masa kuliah.

Diceritakan bahwa Ganjar dan teman-temannya berangkat ke Boyolali untuk menentang proyek Waduk Kedung Ombo. “Aksi ini kami lakukan atas dasar membela sesama kaum marginal, kaum yang lemah dan tertindas,” katanya seperti dikutip dari novel.

Proyek di atas lahan 9.623 hektare itu digagas pemerintahan Presiden Soeharto pada 1985. Waduk direncanakan untuk sumber PLTA berkekuatan 225 Megawatt dan irigas. Pemerintah Orde Baru harus membebaskan tanah seluas 7.394 ha milik 5.823 kepala keluarga. Mereka bermukim di 37 desa yang tersebar di tujuh kecematan dari tiga kabupaten.

Proyek yang mendapat pinjaman Bank Dunia dan Bank Exim itu kelar pada 1989. Yang menjadi problem, ialah warga tak pernah diajak rembugan. Sejumlah warga ditangkapi dan ditahan karena aksi menolak proyek—tak sedikit mereka yang melawan dicap sebagai PKI, bahkan pada kartu tanda penduduk warga tersebut dicap ET alias Eks Tapol. Tak ada ganti rugi yang jelas dari pemerintah dari lahan-lahan yang diambil proyek. Warga pun harus digusur.

Banyak LSM dan mahasiswa dari beberapa daerah di Jawa Tengah dan Yogyakarta meresponnya dengan demonstrasi. Presiden Soeharto kala itu mengatakan akan menggebuk siapa saja yang menolak pembangunan.

“Tanpa pengalaman sebelumnya, kuikuti aksi ini. Aku hanya berpikir bahwa bila kita berjuang di jalan yang benar, pencerahan pasti akan datang,” tutur Ganjar.

Saat itu, ia tak berpikir bahwa perjuangan aksinya itu bakal menang. Ia tak memikirkan menang atau kalah, tapi menyadari bahwa sesungguhnya perjuangan harus dimulai dan penindasan harus dilawan.

“Kami berjuang bersama rakyat untuk melawan penindasan,” katanya. Saat Ganjar turun ke Boyolali, mahasiswa dari kampus-kampus lain di Jawa Tengah dan Yogyakarta juga memperjuangkan yang sama.

Kegemaran Ganjar pada politik dan sejarah terus dipupuk. Ia mulai membaca buku-buku. Beberapa buku yang menginspirasinya, seperti “Catatan Seorang Demonstran” karya Soe Hok Gie dan “Di Bawah Bendera Revolusi” karya Sukarno. Ganjar memang begitu mencintai Sukarno dan ide-idenya.

Sejak kuliah hingga kini, Ganjar adalah pelahap buku-buku. Menurut Jabrik, semasa kuliah Ganjar lebih memilih membeli buku dibandingkan merokok. “Dia enggak sayang duit kalau soal buku. Rokok, kaset metal, baju, buku—yang pertama dia pilih adalah buku. Royal dia,” ujarnya.

Keroyalan Ganjar terhadap buku-buku masih dilakukan hingga dirinya menjadi gubernur Jawa Tengah. Di sebuah video yang diunggah di akun YouTube-nya, pada 20 Juni 2021, Ganjar bercerita tentang isi perpustakaan pribadinya, mulai buku-buku terbitan lawas hingga terbaru.

Ia mengaku memiliki banyak buku yang berserakan di mana-mana, sampai dirinya lupa di mana menyimpan, bahkan buku-bukunya sampai ditata di bawah meja di ruang keluarga. Ia lalu mengambil buku “Di Bawah Bendera Revolusi”. “Ini edisi baru. Saya pernah punya edisi lama, cetakan tahun kedua kalau tidak salah. Tapi, hilang. Jadi, kepada siapa pun yang meminjam tolong dikembalikan, hehe,” ujarnya.[] AN