Terbit
1/7/2022
Diperbarui
13/8/2022

Kampus Biru (6): Politik Menjadi Jalan Kedua

Ganjar mulai menunjukkan minat kepada dunia politik. Sebagai aktivis, ia bergabung di Gerakan Demokrat Kampus alias Gedek.
Ganjar Pranowo muda (memakai topi) saat aktif di organisasi pecinta alam. Foto: arsip pribadi

GANJAR Pranowo masuk Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada pada 1987 berbarengan dengan tahun politik. Indonesia punya hajatan besar setiap lima tahun sekali: pemilihan umum.

Pemilu ke-4 sejak Presiden Soeharto berkuasa itu diikuti oleh tiga partai politik, yaitu Golongan Karya, Partai Demokrasi Indonesia, dan Partai Persatuan Pembangunan.

Untuk keempat kalinya, Golkar menunjukkan keperkasaannya dan kala itu meraih 299 kursi dari 400 kursi di DPR.

Namun, pemilu tersebut juga semakin memperlihatkan eksistensi partai banteng (PDI). Suara mereka mulai naik. Sebanyak 40 kursi diraih PDI atau bertambah 16 kursi dari capaian kursi pada Pemilu 1982.

Saat itu, aktivis-aktivis mahasiswa nasionalis tidak banyak bergerak di dalam kampus. Pemerintah telah melarang semua aktivitas berbau politik praktis di kampus. Larangan ini imbas kebijakan yang dikeluarkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan  kala itu Daoed Joesoef pada 1978.

Daoed menerbitkan program Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordiansi Kemahasiswaan (NKK/BKK). Walhasil, Dewan Mahasiswa yang sebelumnya induk organisasi kemahasiswaan dan pernah menolak pencalonan Soeharto sebagai presiden usai Pemilu 1977 akhirnya dibubarkan.

Kehidupan kampus perlahan mendidihkan darah politik Ganjar muda. Apalagi banyak anggota Majestic-55 juga aktivis mahasiswa nasionalis yang tergabung dalam Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI).

Di lingkup Fakultas Hukum, Ganjar mendapat “kaderisasi” sebagai aktivis nasionalis dari para senior di Majestic-55.

Haris Yunanto, mahasiswa FH angkatan 1979 juga Ketua II Majestic-55 1981, menceritakan bahwa dirinya termasuk salah satu yang menularkan bibit politik kepada Ganjar.

“Saya membawa marwah merah ini dari Majestic-55 pada 1980 hingga lulus kuliah pada 1989. Saya diberi tugas oleh senior-senior sebelumnya untuk mewariskan ilmu tentang nasionalis ini,” ujar Haris saat ditemui di Yogyakarta pada akhir Mei 2022.

Saat itu, kata dia, memang tak ada kepengurusan GMNI yang riil di dalam kampus karena seluruh organisasi ekstra kampus dipupus.

Ketika Ganjar masuk ke Majestic-55 sepertinya dia sudah sadar bahwa dia masuk ke ‘rumah’ yang diinginkan. Dan, dia nyambung dengan kami,” ujar Haris.

Minat Ganjar kepada politik ketika Soeharto terpilih kembali sebagai presiden pada Maret 1988. Dia sebelumnya lebih condong untuk menggeluti kegiatan pecinta alam di bawah naungan organisasi Majestic-55 di Fakultas Hukum dan Mapagama di Gelanggang Mahasiswa UGM.

Sejak menjadi mahasiswa semester kedua, Ganjar ikut dalam aktivitas Gerakan Demokrat Kampus atau disingkat Gedek.

Gerakan yang terbentuk di tahun Ganjar baru masuk kuliah itu digagas oleh para senior Majestic-55, seperti Haris dan Iskandar Wibisono (EO). Gerakan ini sengaja disiapkan untuk menghadapi Pemilu 1987.

Saat itu Gedek membuat gerakan bernama “Bangkit”. Mereka memakai kaos putih, bergambar Bung Karno warna merah, bertuliskan “Bangkit” dan “Generasi Demokrat Kampus”. Gerakan ini dimotori oleh politisi PDI Soetardjo Soerjogoeritno.

Semangat Gedek itulah, kata Haris, yang kemudian ditularkan kepada Ganjar dan angkatan sesudahnya. “Gedek itu bangkitnya mahasiswa-mahasiswa nasionalis dalam pemerintah Orde Baru,” ujar Haris.

Di Gedek pulalah Ganjar mulai berteman dengan mahasiswa di luar FH. Ia pun lebih banyak beraktivitas di luar kampus.

“Mengikuti organisasi semacam ini berarti harus banyak tahu tentang ilmu politik,” kata Ganjar seperti dikutip dari novel “Anak Negeri: Kisah Masa Kecil Ganjar Pranowo” yang ditulis Gatotkoco Suroso.

Ganjar bercerita organisasi semi politik tersebut bergerak di luar kampus, di awali dari diskusi-diskusi kecil sehingga terjadi perkumpulan yang lumayan solid.

“Dalam perjuangannya, Gedek memang terkesan lebih nasionalis. Doktrin yang menjadi tolok ukur perjuangannya adalah marhaenisme, satu ajaran yang selalu disampaikan oleh Bung Karno,” tutur Ganjar.

Pilihan politik itu juga membuat dirinya dilematis. Ia juga terkesan mbalelo di depan orangtuanya yang menjadi pendukung pemerintah. Ia sudah kerap kali menyampaikan maksud dirinya masuk ke organisasi tersebut. Ia harus menjelaskan bahwa organisasi tidaklah sedemikian buruk seperti yang dibayangkan—kelakuan segelintir orang memang terkadang keluar dari konteks perjuangan.

“Hal seperti itu harus diluruskan…aku sendiri memilih PDI bukan tanpa alasan; yang jelas keinginan belajar tentang nasionalisme menjadikan pemahaman ini mengerucut ke arah ajaran Bung Karno,” kata Ganjar.

Karena pilihan itulah, akhirnya kelak dia begitu dekat dengan Mbah Tardjo. Dan, terbukalah jalan yang dipilihnya, dunia politik—jalan kedua selain cintanya pada alam.[] AN