Terbit
13/7/2022
Diperbarui
13/8/2022

Kampus Biru (7): Mbah Tardjo dan Anak Marhaenisme

Ganjar banyak menimba ilmu, ngangsu kawruh, dengan politisi senior Partai Demokrasi Indonesia tersebut.
Soetardjo Soerjogoeritno atau Mbah Tardjo. Foto: Tribunnews.com/FX Ismanto

SOETARDJO Soerjogoeritno atau Mbah Tardjo menjadi sosok yang disegani Ganjar Pranowo di awal-awal dirinya menyukai jagat politik praktis kala mahasiswa.

Ganjar banyak menimba ilmu, ngangsu kawruh, dengan politisi PDI tersebut. Bergabung dalam Gerakan Demokrat Kampus (Gedek) menjadikan Ganjar makin ingin menggali lebih tentang politik. Dan, “sumur politik” yang biasa ia tuju ialah Mbah Tardjo.

“Sepeda onthel yang kukendarai berjalan sangat lambat. Kutuju rumah Mbah Tardjo. Ia adalah tokoh PDI yang sangat disegani di Yogyakarta,” tutur Ganjar, seperti dikutip dari novel “Anak Negeri: Kisah Masa Kecil Ganjar Pranowo” yang ditulis Gatotkoco Suroso.

Mbah Tardjo dulunya seorang guru yang ikut menjadi anggota PNI di era pemerintahan Bung Karno. Di tahun 1980-an, ia sudah masuk sebagai anggota DPR dari Fraksi PDI.

Bagi Ganjar, Mbah Tardjo menguasai betul apa itu marhaenisme, ajaran yang selalu dikemukakan oleh Bung Karno. Bahwa marhaenisme, kata Mbah Tardjo, adalah ideologi yang menentang adanya penindasan manusia atas manusia atau bangsa atas bangsa.

“Kalau begitu yang disebut marhaen itu siapa saja, Mbah?” tanya Ganjar.

“Ya, seluruh golongan rakyat kecil, dari petani sampai buruh, yang hidupnya dalam cengkeraman para penguasa.”

“Penguasa itu siapa pun yang bisa menggerakkan apa pun. Ya bisa termasuk apa yang kamu sebut tadi (baca: pemerintah, red).”

“Jadi, kaum marhaen ini yang harus kita bela. Yang membela disebut marhaenis dan ilmunya disebut marhaenisme,” Mbah Tardjo menegaskan kembali kepada Ganjar.

Bagi Ganjar saat itu, penjelasan panjang lebar Mbah Tardjo tentang marhaenisme dan lainnya semakin membuka wawasan dunia politik.

“Berdiskusi di rumah Mbah Tardjo, pikiranku pun tercerahkan. Ilmu yang sebelumnya tidak terpikirkan, akhirnya parkir juga di kepalaku,” tutur Ganjar.

Hubungan Ganjar muda dengan Mbah Tardjo semakin intens kala menjelang akhir dirinya sebagai mahasiswa. Posisi Ganjar yang sudah skripsi dan tak banyak mengikuti jam kuliah dimanfaatkan untuk pergi ke luar kampus, menimba ilmu politik.

Namun, sebelum hubungan dekat dengan Mbah Tardjo itu, Ganjar terlebih dulu bergabung dengan mahasiswa-mahasiswa nasionalis di Gelanggang Mahasiswa UGM.

Dari situlah, ia mengenal mahasiswa senior dari Fakultas Teknik, Rahman atau bisa dipanggil Cak Man. Sosok senior angkatan 1980 juga anggota gerakan Generasi Demokrat Kampus (Gedek), berisi mahasiswa-mahasiswa nasionalis, GMNI. Dari Cak Man inilah garis perkenalan dengan Mbah Tardjo bermula.

“Jadi, kebetulan kos saya itu dulu di belakang rumah Mbah Tardjo, di Kampung Karangwuni, Caturtunggal, Sleman. Setiap hari rumahnya selalu ramai, banyak sekali pendukung PDI,” Cak Man bercerita tentang sosok Mbah Tardjo, akhir Mei 2022 di Yogyakarta.

Meski rumah Mbah Tardjo didatangi banyak orang, dijadikan sebagai markas, di mata Cak Man, ada sisi kesepian dari Mbah Tardjo. Hal inilah yang membuat Mbah Tardjo suka nimbali (memanggil) anak-anak dari Gedek.

Mbah Tardjo memang terkesan dengan gerakan Gedek yang seringkali disebut sebagai “Banteng Putih”. Ini lantaran saat itu, sebagai pendukung PDI, gerakan mereka tidak berkampanye seperti umumnya pendukung atau simpatisan. Yang mereka lakukan adalah memakai baju putih bertuliskan “BANGKIT”

“Meski orang sebanyak itu datang ke rumahnya, tidak banyak yang diajak diskusi, maka biasanya mereka suka nimbali dari teman-teman Gedek ini, untuk ngancani, menemani, diskusi,” ujar Cak Man menggambarkan perkenalan dengan Mbah Tardjo kala itu.

Cak Man mengatakan, hampir setiap hari teman-teman dari “Banteng Putih” tersebut menjadi teman diskusi Mbah Tardjo. Selain memberikan masukan dalam strategi lapangan dalam kampanye, mahasiswa-mahasiswa yang diajak diskusi itu juga ingin tahu perkembangan atau peta politik Indonesia.

Ganjar memang belum menjadi bagian diskusi bersama Mbah Tardjo kala Pemilu 1987 karena baru pertama kali masuk kuliah. Namun, dalam perjalanannya aktivitas bersama Gedek, Ganjar kemudian dikenal oleh Mbah Tardjo sebagai “Ganjar Gedek”.

Pada Pemilu 1992, ketika Cak Man sudah tidak lagi menjadi mahasiswa dan sudah berkeluarga, Gedek bangkit kembali. Kini giliran generasi Ganjar dkk yang mengembalikan masa-masa seperti Pemilu 1987.

“Ada tiga orang yang datang ke rumah saya, saat itu saya sedang menggendong anak saya. Mereka Ganjar, Jabrik, dan satu lagi saya lupa namanya,” ujar Cak Man.

Ganjar waktu itu, kata Cak Man, meminta agar Gedek dihidupkan lagi seperti sebelumnya. Menurut Cak Man, waktu itu dirinya sudah tidak lagi intens, tapi tetap memberikan masukan-masukan untuk generasi Gedek berikutnya.

Mbah Tardjo, Cak Man, dan Gedek adalah “sekrup-sekrup” yang mengencangkan dan melengkapi rasa cinta Ganjar muda pada dunia politik; menjadi anak marhaenisme.[] AN