Terbit
29/7/2022
Diperbarui
19/8/2022

Kampus Biru (8): Menjadi Mentor Pecinta Alam

Ganjar dipilih karena memiliki kapabilitas untuk menjadi instruktur. Mandat ini turun-temurun di Majestic-55.
Berfoto bersama anggota Palaci di depan rumah Mbah Maridjan, juru kunci Gunung Merapi, sesaat setelah pendidikan dan pelatihan dasar cinta alam, 1991. Foto: Arsip pribadi

MASA kuliah Ganjar Pranowo terbilang hidup pas-pasan. Meski mengalami kesulitan keuangan, Ganjar muda sangat jarang meminta uang kepada kakak-kakaknya. Ia tahu diri juga dengan kondisi ekonomi keluarga besar.

“Kalau tidak punya uang, (dia) itu diem, enggak mau minta sampai kakaknya ngasih,” ujar Pri Pambudi Teguh, kakak keduanya suatu kali saat diwawancara Kompas.com,  23 Agustus 2013. Ganjar adalah anak kelima dari enam bersaudara.

Sugeng “Jabrik” Triyono, sahabat Ganjar semasa kuliah, memiliki banyak cerita keprihatinan Ganjar semasa kuliah. Menurutnya, Ganjar sering puasa Senin-Kamis, bahkan juga puasa Daud. Dengan sedikit bercanda, Jabrik menyebut, laku puasanya tersebut karena kondisi ekonomi alias tak punya uang.

“Dia memang hobinya puasa, Senin-Kamis. Kalau kondisinya mepet banget, dia akhirnya puasa Daud, sehari puasa, sehari enggak—itu dilakoni dia,” kata Jabrik saat ditemui di Jakarta, awal Mei 2022.

Simbok-nya Jabrik adalah sosok yang begitu gemati (sayang) dengan Ganjar. Ia pula yang sering meminta Ganjar buka puasa di rumahnya. Jika jarang main ke rumah Jabrik, simbok sering menanyakan kabar Ganjar. Hubungan Jabrik dan Ganjar sudah seperti keluarga, bahkan hingga sekarang.

“Dia disayang banget sama simbok saya. Saya naik gunung, telat pulang, enggak dicari. Kalau Ganjar beberapa hari enggak nongol ke rumah, ditanyain: mas Ganjar neng ngendi ki kok ra ketok-ketok (Mas Ganjar di mana kok enggak pernah kelihatan),” cerita Jabrik menirukan almarhumah simboknya.

Ketika Ganjar menjadi ketua Majestic-55 organisasi pecinta alam di Fakultas Hukum UGM, ada mandat yang harus dia emban, yaitu menjadi instruktur organisasi pecinta alam di SMA 8 Yogyakarta.

Haris Yunanto, senior Majestic-55 angkatan 1979, mengatakan, terkait mandat itu memang sudah berjalan turun-temurun di organisasi. Ganjar dipilih karena memiliki kapabilitas untuk menjadi instruktur, kata Haris saat ditemui akhir Mei 2022 di Yogyakarta dan menceritakan kenangan bersama Ganjar di kampus.

“Tidak ada alasan untuk menolak karena pekerjaan ini juga merupakan hobi yang sangat menyenangkan. Aku langsung menyanggupinya,” tutur Ganjar seperti diceritakan dalam novel “Anak Negeri: Kisah Masa Kecil Ganjar Pranowo” karya Gatotkoco Suroso.

Mengajar di Palaci, begitu nama kegiatan ekstrakurikuler di SMA 8, Ganjar tak sendirian, tapi ditemani Jabrik dan lainnya. “Seringkali aku dan Jabrik berduet mesra dalam memberikan penjelasan dan pengarahan,” kata Ganjar.

Bersama anggota Palaci SMAN 8 Yogya dalam persiapan pendakian ke Gunung Sindoro, 1988. Foto: Arsip pribadi

Jabrik memiliki keahlian dalam urusan tali-temali. Ganjar lebih pada kemampuan berbicara. Gaya retorika Ganjar diakui Jabrik membuat anggota Palaci menjadi kagum dan mudah menerima penjelasan.

“Dia punya kemampuan mengajar. Dia top kalau instruktur, hebat dia. Memang pandai bicara; saya lihat dari awal-awal kenal itu: cah iki pinter omong,” ujar Jabrik.

Sebelum mengajar Ganjar lebih dulu membaca materi-materi. Kemampuan menyerap pemahaman teori ini, diakui Jabrik, cukup cepat dilakukan Ganjar. Pengajaran di Palaci dilakukan dua hari, Sabtu sore di dalam kelas yang diampu oleh Ganjar, lalu Minggu pagi praktik. Saat praktik, giliran Jabrik akan menjadi instruktur.

Selain bersama Jabrik, Ganjar juga terkadang berduet dengan Jonet, mahasiswa angkatan 1986 Fakultas Hukum, dalam mengajar anggota Palaci. Jabrik dan Jonet adalah dua sosok yang diandalkan Ganjar ketika mengajar di Palaci

"Ketika aku pusing memikirkan konsep ujian serta penilaian bagi adik-adik Palaci yang akan menerima rapor, mereka selalu muncul dengan membawa solusi,” terang Ganjar di novel “Anak Negeri”.

Dari mengajar itulah, ia pelan-pelan mengumpulkan uang untuk bisa bertahan hidup dan membayar SPP kuliah, tanpa harus meminta kepada kakak atau orangtuanya. Sebetulnya, selain mengajar di SMA 8, Ganjar juga mengajar kegiatan serupa di SMA Sewon Bantul.

Dalam acara TV Mata Najwa bertajuk “Cerita Anak Kampung: Cerita Susah Ganjar Pranowo”, Ganjar menceritakan honor yang didapat dari mengajar tersebut.

“Waktu itu dibayar Rp35 ribu sebulan. Kami tabung dan kumpulkan untuk bayar SPP. Karena waktu itu tidak bisa terbayar langsung, saya mesti menabung tiga bulan. Waktu itu SPP Rp90 ribu. Makanya, saya itu suka langganan minta penundaan pembayaran SPP di rektorat,” kenang Ganjar.

Yang dilakukan Ganjar itu tanpa sepengetahuan orangtua karena tak ingin bapak dan ibunya sedih. Namun, suatu kali ia akhirnya menceritakan juga hal itu kepada Suparni, sang ibunda. “Ibu nangis-nangis begitu dan saya pun meminta maaf,” ujar Ganjar.[] AN

Terkait:

1] Kampus Biru (1): Digembleng Pancasila 100 Jam

2] Kampus Biru (2): Gondes karena Senang Musik Rock

3] Kampus Biru (3): Kamar Mungil Om Ga di Sorosutan

4] Kampus Biru (4): Dalam Naungan Majestic-55

5] Kampus Biru (5): Membela yang Lemah dan Peduli Sesama

6] Kampus Biru (6): Politik Menjadi Jalan Kedua

7] Kampus Biru (7): Mbah Tardjo dan Anak Marhaenisme