Terbit
8/7/2022
Diperbarui
13/8/2022

Kisah Secangkir Kopi Jawa

Saat ini kopi telah kembali menemukan jalan kejayaannya setelah sekian ratus tahun lepas dari tanah kita.
Foto: Unsplash
Ganjar Pranowo

BAGAIMANA kabarnya? Alhamdulillah sekarang perlahan kondisi kita berangsur membaik. Penularan Covid-19 sudah menurun drastis, pembatasan kegiatan hampir gak ada, panjenengan semua juga sudah mulai aktif bekerja.

Ya, semoga pada tahun-tahun berikutnya kita semua diberi kesehatan dan lancar rezekinya.

Sudah ngopi belum? Baca ya baca, tapi jangan lupa ngopi dong. Ketika menulis ini, saya minum Java Coffe Arabica Kaliangkrik Magelang.

Kopi Kaliangkrik ini termasuk salah satu kopi andalan Jawa Tengah. Meski tidak terlalu strong, tapi rasanya unik. Cita rasa asam dan pahitnya itu nyampur dengan halus.

Kamu harus nyobain. Kalau perlu, kamu ke Kaliangkrik saja. Ngopi langsung di sana. Mereka punya empat varian. Ada full wash, natural, honey, dan kewa.

Waktu saya ke sana, ada yang bilang. Kopi Kaliangkrik ini mulai bergeliat ketika beberapa pemuda mengajak petani untuk beralih menanam kopi.

Meski mulanya tidak banyak yang ikut, pemuda-pemuda itu tetap saja nekat. Begitu masa panen tiba, kopi langsung diolah lalu pasarkan. Maka, jadilah Java Coffe Kaliangkring.

Tapi, ya dasar pemuda, ada saja idenya. Karena mereka tahu bahwa kopi yang dihasilkan itu adalah yang terbaik, mereka tidak mau menjual dengan cara yang biasa-biasa saja. Selain memanfaatkan jaringan perkopian, mereka juga bikin narasi yang menarik.

Jadi, yang mereka sajikan bukan sekadar kopi nikmat, mereka juga menghadirkan cerita yang memikat.

Misalnya, “Inilah Java Coffe Kaliangkrik. Diproses dengan spirit pedesaan di lereng gunung, dengan iklim yang tidak ditemui di belahan bumi lain.

Narasi sesingkat itu saja sudah sangat menarik orang. Makanya, saya tidak heran, kopi ini telah tersebar ke seluruh wilayah Indonesia. Bahkan, sudah ekspor ke Kanada, Mesir, Amerika bahkan telah sampai ke Finlandia.

Saya yakin kok, sangat yakin. Java Coffe Kaliangkrik ini, untuk rasa, berani diadu dengan kopi-kopi premium dari mana saja.

Apalagi untuk Java Coffe sudah ada sejak abad 17. Bahkan, dalam bahasa slang Inggris, Java disebut untuk merujuk pada kopi. Tidak bedalah sama kita kalau mau beli air mineral. Nah, kalau sudah sebegitunya, tahu kan, betapa sudah mengakarnya Java Coffe di mata dunia.

Sebenarnya, saya cerita panjang lebar tentang kopi itu karena sangat terinspirasi oleh dunia perkopian Tanah Air.

Sekarang siapa pun ngopi. Padahal dulu, orang-orang itu malu kalau mau ngopi. Jangankan minum, pesan saja sudah malu karena pasti akan dianggap tua dan kampungan.

Upaya memasyarakatkan kopi benar-benar sukses besar. Lebih gilanya lagi, kita-kita ini lebih memilih kopi Tanah Air dibanding kopi dari Brasil, misalnya, atau Vietnam atau bahkan kopi Ethiopia.

Jenis kopi kita itu banyak banget dan punya cita rasa sendiri-sendiri. Entah itu, Gayo, Lampung, Luwak, Jawa, Malabar, Mandailing, Bali maupun Papua. Akhirnya kondisi itu sangat berpengaruh pada kesejahteraan petani.

Kalau boleh saya bilang, saat ini kopi telah kembali menemukan jalan kejayaannya setelah sekian ratus tahun lepas dari tanah kita. Bahkan, dalam sepuluh tahun terakhir jumlah produksi kopi negara kita melonjak lebih dari 100 ribu ton dari 631 ribu ton di tahun 2011 menjadi 774 ton di tahun 2021.

Dengan jumlah produksi itu, saat ini kita berada pada peringkat ke empat sebagai negara penghasil kopi terbanyak di dunia.

Kebangkitan dunia kopi itu bisa kita jadikan arus balik untuk memicu peningkatan perekoniman. Bukan hanya perekonomian petani maupun pengusaha kopinya, tapi juga bisa kita jadikan pemicu peningkatan perekonomian negara.

Terlepas dari keburukan dan kejahatan sistemnya, masih ingat kan, bagaimana dulu VOC memakmurkan negaranya dari hasil bumi kita?

Apa yang dilakukan VOC dulu jadi bukti konkret bahwa hasil bumi bisa dijadikan penunjang kejayaan negeri. Masak saat ini kita tidak bisa?

Apa coba yang tidak bisa tumbuh di tanah kita? Kopi, teh, cengkih, tebu, tembakau, pala, lada, sawit, kakao, karet bisa tumbuh subur semua.

Belum lagi padi, jagung, kedelai, porang, dan masih banyak hasil pertanian lainnya yang potensinya sangat besar untuk kita kembangkan.

Jika dulu hasil kejayaan pertanian dan perkebunan selalu dikirim ke luar, saat ini sudah waktunya kita mengunduh untuk kejayaan dan kemakmuran negeri sendiri.

Dan, memang seperti itulah mestinya. Industri kopi telah memberi contoh penerapan beberapa syarat kemandirian. Kita olah secara optimal potensi kita sendiri, lalu gunakan untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri, sekaligus kita ekspor untuk mensuplai kebutuhan mancanegara.

Saya pikir, apa yang dicita-citakan Bung Karno dalam Trisaktinya tentang berdikari di bidang ekonomi, ya begitu.

Apalagi soal pertanian dan pangan. Karena menyangkut pangan, adalah menyangkut harga diri bangsa. Jika seluruh potensi pertanian dan perkebunan itu bisa meniru sistem yang diterapkan pada industri kopi, saya yakin Indonesia bakal jadi lumbung pangan dunia.

Dan, yang mesti diingat, ini bukan sekadar cerita tentang kekuatan produksi, tapi juga menyangkut kreasi mengoptimalkan potensi.

Produksi kita bagus, tapi jika tidak disertai kualitas yang bagus, ya sama saja. Kualitas bagus, tapi tanpa disertai narasi yang yahut, ya percuma.

Seperti halnya negara, perlu kualitas dan narasi yang bagus di mata dunia. Lewat siapa? Kita semua punya kewajiban yang sama. Ok?

Sruput kopimu dan jangan lupa bahagia.[]