Terbit
10/5/2022
Diperbarui
13/8/2022

Komitmen Satu Digit Angka Kemiskinan

Ganjar Pranowo sangat fokus dalam pengembangan UMKM; tujuannya ialah demi terbentuknya kemandirian individual.
Ilustrasi. Foto: freepik.com

SAAT Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Wilayah di  Pekalongan pada 19 April 2022, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo titip pesan dua hal: kemiskinan dan kebangkitan ekonomi pasca pandemi Covid-19.

Pengentasan kemiskinan menjadi perhatian Ganjar sejak dirinya terpilih sebagai gubernur pada 2013. Selain itu, ia juga komitmen untuk mengurangi angka pengangguran dan pembenahan infrastruktur. Dirinya tak menutup mata, bahwa jumlah penduduk miskin di Jateng kala itu begitu tinggi, mencapai 4,8 juta jiwa atau 14,44 persen. Angka ini di atas rata-rata angka kemiskinan nasional sebesar 11,66 persen.

Ganjar menggenjot melalui berbagai program agar masalah kemiskinan menurun. Dengan cara keroyokan besama para bupati dan wali kota, perguruan tinggi hingga swasta, hasilnya cukup memuaskan. Dari Maret 2013 hingga Maret 2019, menurut data Badan Pusat Statistik Jawa Tengah, warga miskin di provinsi tersebut turun mencapai 1.093.220 jiwa.

Tiga tahun sebelumnya, kala dirinya diwawancara SMERU Research Institute, lembaga riset yang fokus di sektor kemiskinan berbasis di Jakarta, Ganjar membeberkan bagaimana pemprov fokus mengatasi kemiskinan.

Tantangan paling berat, diakui Ganjar, ialah data. Harus ada kesesuaian data di atas kertas dengan fakta di lapangan. Setelah didapat data, langkah selanjutnya ialah membentuk klaster-klaster. Barulah dipilih metode-metode yang akan diterapkan ke masyarakat. Terakhir, proses alokasi anggaran yang bisa bersumber dari APBN, APBD Provinsi atau APBD Kabupaten/Kota, bahkan dari swasta dalam bentuk tanggung jawab sosial perusahaan (CSR).

Pemprov Jateng tak membuat program unggulan untuk atasi kemiskinan meski terdapat program bernama “Satu OPD, Satu Desa Miskin”. Dengan rendah hati, Ganjar menyebut, bahwa dirinya banyak “belajar” dari program di tingkat kabupaten/kota. Sebagai gubernur, dirinya bertindak sebagai koordinator; layaknya nakhoda, ia yang mengendalikan program agar berjalan tepat sasaran. Yang terpenting, katanya, ialah “aksi yang terkontrol”.

Jateng juga memiliki sejumlah program lain, seperti pembangunan rumah sehat layak huni (RTSH), sambungan listrik gratis, dan jambanisasi. Juga, kegiatan yang bersifat pemberdayaan.

Secara konseptual, bagi Ganjar, orang miskin itu butuh pengetahuan, modal, dan pendampingan. Makanya, Pemprov Jateng memberikan bantuan permodalan melalui akses di Bank Jateng—ada konsep pinjaman tanpa jaminan hingga model startup (usaha rintisan). Proses permodalan ini dipermudah dan berbunga rendah, kata Ganjar. Inilah mengapa selama menjabat, Ganjar sangat fokus dalam pengembangan UMKM; tujuannya ialah demi terbentuknya kemandirian individual. Mereka yang selama ini menerima bansos dan lainnya akan didorong untuk mendapatkan pelatihan keterampilan tangan hingga wirausaha.

Pekerjaan rumah Ganjar memang tak mudah, masih ada lima kabupaten dengan kemiskinan ekstrem, seperti Kabupaten Banyumas, Banjarnegara, Brebes, Pemalang, dan Kebumen.

Namun, laporan BPS sejak 2013 hingga 2017, bisa menjadi pelecut untuk terus bergerak, karena jumlah penduduk miskin di Jateng terus berkurang. Dari 4,8 juta jiwa pada September 2013, menjadi 4,19 juta jiwa pada September 2017. Di tahun-tahun berikutnya, 2018 dan 2019, trennya sama: menurun.

Dengan torehan penurunan selama enam tahun berturut-turut, BPS menyebutkan pada 2019 bahwa Provinsi Jateng menjadi satu dari lima provinsi di Indonesia dengan persentase penurunan angka kemiskinan tertinggi secara nasional. Jumlah warga miskin per September 2019 menjadi 3,68 juta jiwa atau sebanyak 10,58 persen.

Ganjar memang menargetkan angka kemiskinan di Jateng terus ditekan menjadi satu digit meski angka 10,58 persen juga sudah sesuai dengan target Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).

Kondisi tersebut berubah pada 2020 dan 2021. Sepanjang 2020, dunia mengalami krisis karena pandemi Covid-19. Masyarakat di Indonesia juga mengalami masa-masa sulit, banyak orang kehilangan pekerjaan sehingga kondisi ekonomi keluarga menjadi sulit.

Garis kemiskinan yang selama ini menjadi patokan BPS untuk mengukur angka kemiskinan melejit di angka Rp 398.477 per kapita pada September 2020. Jadi, penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran konsumsi per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan dikategorikan penduduk miskin. Dengan kondisi ini, jumlah penduduk miskin pun bertambah. Tercatat 4,12 juta jiwa atau 11,84 persen pada September 2020.

Ada kekeliruan di masyarakat bahwa Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sebagai acuan data penduduk miskin.

PDRB Jateng memang terendah se-Jawa, tapi ini bukan berarti sebagai provinsi termiskin. Menurut BPS, PDRB per kapita atau pendapatan rata-rata penduduk Jateng tahun 2021 adalah 38,67 juta per tahun. Namun, jika dibagi 12 bulan, jumlah tersebut melebihi dari upah minimum yang telah ditetapkan pemprov pada tahun itu sebesar Rp1,79 juta. Oleh karenanya, BPS menegaskan, tingkat pendapatan suatu daerah tidak linear dengan tingkat kemiskinan.

Pakar Demografi Universitas Negeri Semarang (Unnes) Profesor Saratri Wilonoyudo menyebut upaya yang dilakukan Pemprov Jateng dalam program pengentasan kemiskinan perlu diapresiasi. Alasannya, selama 2021 angka kemiskinan di Jateng turun 185 ribu orang per September.

Pada 2021, perlahan tapi pasti ketika pemerintah pusat mulai melonggarkan aktivitas seiring program vaksinasi Covid-19, geliat ekonomi mulai tumbuh. Angka kemiskinan Jateng juga perlahan menurun. Tercatat, pada September angka kemiskinan menyentuh 11,25 persen atau sebanyak 3,93 juta jiwa masih di bawah garis kemiskinan Rp423.264.

"Inilah yang menurut saya pantas dijadikan contoh. Penurunan penduduk miskin adalah suatu pembangunan yang sangat luar biasa. Karena angka ini turunnya cukup signifikan sampai hampir 200 ribu orang pada 2021. Padahal pandemi Covid-19. Itu yang harus diperhatikan,” kata Saratri, Selasa (10 Mei 2022).

Sementara, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Jateng sejak 2019 hingga 2021 terus mengalami kenaikan, masing-masing tercatat 71,73 persen, 71,87 persen, dan 72,16 persen. “Yang menarik, saat masa pandemi IPM-nya justru naik. IPM ini kan terkait dengan kesehatan, lama hidup, harapan lama hidup, pendidikan, harapan lama sekolah, dan pengeluaran per kapita,” kata Saratri.

Angka persentase kemiskinan saat ini memang masih di bawah angka rata-rata kemiskinan nasional 9,71 persen. Namun, pertumbuhan ekonomi 3,32 persen pada triwulan IV/2021 menjadi angin segar pada awal 2022. Ini sebuah harapan untuk terus menekan angka kemiskinan ke posisi satu digit, seperti komitmen Ganjar.[] AN