Terbit
13/4/2022
Diperbarui
18/8/2022

Masa Kecil Ganjar (2): Sungkowo ke Pranowo

Bapaknya khawatir jika masih memakai nama “sungkowo”, kehidupan Ganjar kelak bisa selalu dirundung kesedihan.
Arsip pribadi

KALA Sri Suparni mengandung jabang bayi lanang, Ganjar, kondisi ekonomi sedang sulit. Selain itu, Sri juga mengalami hal-hal yang menyedihkan, pernah jatuh, menjelang kelahiran anaknya itu.

Kondisi inilah yang membuat sang suami, Parmudji Pramudi Wiryo, lantas menamai anaknya: “Ganjar Sungkowo”. Nama “Ganjar” memiliki arti hadiah atau ganjaran dari Tuhan, sedangkan “Sungkowo” (Sungkawa) artinya kesedihan.

“Katanya nama belakang ini berhubungan dengan keadaan ketika ibu mengandungku. Saat itu keluarga kami sedang banyak dirundung kesusahan. Sungkowo sendiri memiliki arti kesedihan,” cerita Ganjar di buku novel “Anak Negeri: Kisah Masa Kecil Ganjar Pranowo” yang ditulis oleh Gatotkoco Suroso.

Nama itu disandang Ganjar hingga memasuki usia sekolah. Saat dia didaftarkan masuk sekolah dasar, orangtuanya berinisiatif untuk mengubah namanya menjadi “Ganjar Pranowo”. Parmudji khawatir jika masih memakai nama “sungkowo”, kehidupan Ganjar kelak bisa selalu dirundung kesedihan.

Pranowo (atau Pranawa) sendiri memiliki arti hati yang terang. Namun, soal nama ini, Ganjar pernah mengartikan secara bebas bahwa “pra” itu artinya sebelum, “nowo” berarti sembilan. “Jadi, sebelum sembilan. Saya kan anak ke-5 dari enam bersaudara,” canda Ganjar kepada TEMPO.

Masa kecil Ganjar dihabiskan di Desa Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah hingga kelas V sekolah dasar. Anak kelahiran 28 Oktober 1968 ini kemudian boyongan ke Kutoarjo, sebuah kecamatan di Kabupaten Purworejo, Jateng yang berjarak 179 kilometer; sebuah kota kecil di sebelah barat Yogyakarta.

Sebelum perpindahan besar itu, keluarga Ganjar pernah harus “diusir” dari rumahnya. Pengusiran ini memaksa keluarga pindah rumah ke Kecamatan Karanganyar, di ibu kota kabupaten. Ini lantaran bapaknya telah menjual rumah dan sang pemilik ingin menempatinya. Padahal, sesuai kesepakatan, keluarga Ganjar masih diperbolehkan menghuni sampai mendapatkan rumah baru.

Kejadian pengusiran itu sangat menyayat hati Ganjar kecil. Ia melihat di depan matanya, bagaimana bapaknya beradu mulut. Sang ibu sampai menitikkan air mata. “Dalam tangisnya, ibu memberi isyarat bahwa kami tidak boleh ikut terlibat urusan orangtua. Aku sangat terpukul dengan kejadian ini,” tutur Ganjar.

Sehabis kejadian adu mulut itu, Parmudji pamit kepada istri dan anak-anaknya untuk mencari rumah kontrakan. Ia baru pulang tengah malam. Kabar baik itu akhirnya datang dan sang bapak meminta seluruh anggota keluarga esok pagi untuk bersiap-siap pindah.

Ia terpaksa berpisah jarak dengan kawan-kawan karib seperti Dowig, Joko, Kamso, dan Ngadimin. Namun, Ganjar masih bersekolah yang sama, kali ini harus ditempuh dengan naik bus. Ia berangkat bersama kakaknya, Prasetyowati Tyas Purwani (Mbak Watik) dan adiknya, Nurhidayati Agustini (Nur).

Ganjar adalah anak kelima. Selain Mbak Watik, ia memiliki tiga kakak laki-laki, antara lain Pri Kuntadi, Pri Pambudi Teguh, Prijadi Joko Prasetyo. Pemberian nama “Pri” ini lantaran sang bapak tiga kali pernah ditugaskan ke medan operasi penumpangan pemberontakan PRRI.

Di rumah barunya, bukan tambah baik, tapi justru lebih menyedihkan. Rumah kontrakan ini berupa bangunan berdinding tripleks dan beralas tanah. Lokasinya berdekatan dengan gudang gamping. “Kami menempati rumah ini karena tak punya pilihan lain. Uang kami tak cukup untuk menempati rumah yang bagus,” cerita Ganjar.

Ganjar sering bermain di gudang gamping, sampai-sampai rambut dan mukanya memutih. Jika sudah begitu, sang ibu menegurnya.

Semasa sekolah dasar, Ganjar bukanlah siswa yang menonjol. “Ketika SD nilai rapornya pas-pasan,” ujar Mbak Watik dalam buku “Kontroversi Ganjar” yang ditulis oleh empat wartawan.

Yang menonjol dari Ganjar sejak kecil adalah pandai bergaul sehingga punya banyak teman. Ganjar juga memiliki pembawaan mandiri dan suka menolong.

Selama bersekolah di SD Negeri 02 Tawangmangu, teman-temannya kesengsem dengan sikapnya yang peduli, lebih-lebih paras Ganjar memang ganteng. “Ganjar adalah idola karena ganteng,” ujar Menuk, salah satu teman SD-nya yang tinggal dekat di rumah Ganjar selama di Tawangmangu.

Sementara, Kamso, teman SD lain, menilai Ganjar sama nakalnya dengan dirinya, tapi lebih pintar. "Cah iki mbiyen mbelinge pol (anak ini dulunya nakal sekali)," kata Ganjar kala ketemu Kamso pada 2015 saat kunjunganya ke Tawangmangu dikutip dari detik.com.

Ganjar memiliki geng lima sekawan. Selain Kamso, ada Ngadimin, Joko, dan Dowig. Namun, di antara kawan karibnya, Kamso termasuk yang paling dominan; selain umurnya lebih tua dan berbadan gempal, ia sering memosisikan diri sebagai “kepala suku”.  

Mereka bermain bersama seperti gundu, jepretan karet gelang hingga kenakalan-kenakalan lain, seperti menerobos pagar beduri kawasan wisata air terjun Gerojogan Sewu karena tak beli tiket.

Saat SD, bila ditanya gurunya tentang cita-citanya, Ganjar selalu bilang ingin menjadi pilot. ”Kalau kamu jadi pilot kelak Pakde ditibani (dilempari) selimut ya,” kenang Ganjar suatu kali mengulang kata-kata Pakdenya yang kedinginan sewaktu menginap di Tawangmangu. Pakdenya adalah seorang tentara dan pernah menjadi anggota DPRD Purworejo.[]AN

Terkait:

1] Masa Kecil Ganjar (1): Anak Lereng Lawu

2] Masa Kecil Ganjar (3): Pindah ke Kota Leluhur