Terbit
13/4/2022
Diperbarui
18/8/2022

Masa Kecil Ganjar (1): Anak Lereng Lawu

Sebagai anak desa, Ganjar bersama teman-temannya di SD Negeri 02 Tawangmangu selalu nyeker saat berangkat ke sekolah.
Arsip Pribadi

OKTOBER 1968. Tawangmangu, sebuah desa kecil di lereng Gunung Lawu, Jawa Tengah, berjarak 21 kilometer dari ibu kota Kabupaten Karanganyar. Daerah ini terkenal dengan air terjun Grojogan Sewu. Berhawa dingin. Berada di ketinggian sekitar 1.200 meter di atas permukaan laut. Jauh dari perkotaan.

Hari itu hari Senin. Perempuan paruh baya bernama Sri Suparni melahirkan seorang jabang bayi lanang. Ini anak kelima Sri. Sang suami, Parmudji Pramudi Wiryo, menamai sang bayi dengan nama “Ganjar Sungkawa”.

Ganjar tumbuh di keluarga sederhana. Bapaknya hanya seorang polisi berpangkat sersan, sedangkan ibunya cuma seorang ibu rumah tangga. Di kala senggang, Sri terbiasa menjahit, membantu pendapatan suaminya untuk mencukupi kebutuhan keluarga.

Masa-masa kelahiran Ganjar, kondisi ekonomi dan politik di Indonesia sedang bergejolak. Indonesia baru saja mengalami geger politik, Gerakan 30 September 1965 dan belum lama memiliki presiden baru, Mayor Jenderal Soeharto. Peralihan dari Ir Sukarno ke Soeharto belum sepenuhnya memperbaiki dari kondisi ekonomi yang serbasulit.

Meski bapaknya sebagai polisi, bukan berarti ekonomi keluarga serba kecukupan. Pendapatan bapaknya belum cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga besar dengan enam anak.

“Bapak polisi rendahan, ibu saya ibu rumah tangga. Setiap bulan gaji bapak saya dikasih ke ibu. Lalu, saya mengantar ibu ke warung Mbak Yarni. Warungnya saat ini masih ada. Mbak Yarni punya buku tebal, sampulnya batik, isinya utang ibu saya,” katanya di program TV Mata Najwa bertajuk “Cerita Anak Kampung: Cerita Susah Ganjar Pranowo” pada 2019.

Ia juga bercerita bagaimana makan satu telur dibagi berempat bersama saudara-saudara lainnya. Bisa bersekolah adalah sesuatu yang sangat disyukuri, sebuah anugerah tersendiri. Pesan yang selalu disampaikan bapaknya ialah belajar, belajar, belajar.

Ganjar lahir bertepatan di tanggal peringatan Hari Sumpah Pemuda. Di antara teman-temannya, ia  bertubuh paling jangkung. Postur tubuh ini yang membuat dirinya beberapa kali diminta gurunya di sekolah dasar untuk menulis soal-soal “pekerjaan rumah” di papan tulis.

Sebagai anak desa, Ganjar bersama teman-temannya di SD Negeri 02 Tawangmangu sudah terbiasa nyeker, tak pakai sepatu, ke sekolah. “Sehari-hari aku terbiasa bersekolah tanpa memakai sepatu. Sepatu termasuk barang mewah yang hanya bisa dimiliki oleh anak dari keluarga tertentu,” tutur Ganjar di novel “Anak Negeri: Kisah Masa Kecil Ganjar Pranowo” yang ditulis oleh Gatotkoco Suroso.

Urusan seragam sekolah, Ganjar beruntung memiliki tiga kakak. Ia menerima lungsuran seragam dari mereka.

Kondisi alam Gunung Lawu menempa Ganjar kecil sebagai pribadi yang ulet. Selain mendapatkan petatah-petitih dari orangtuanya, ia juga mengambil banyak pelajaran dari alam Lawu. “Belajar dari alam adalah keseharianku…tinggal di daerah pegunungan membuatku begitu memahami arti gotong royong,” ucap Ganjar.

Pengalaman yang selalu diingat Ganjar ialah ketika aliran air dari gunung ke rumahnya mampet. Keluarga Ganjar memang sehari-hari mengandalkan kebutuhan air dari lereng Gunung Lawu. Ganjarlah yang sering wira-wiri ke atas untuk mengecek saluran air, masih berupa tanah yang dibuat khusus oleh warga setempat, mana yang tersumbat kotoran atau bermasalah. “Pekerjaan ini menjadi kebiasaanku,” ujar Ganjar.

Ia juga sudah terbiasa dengan kondisi yang serba pas-pasan. Ia belajar setiap malamnya dengan senthir atau lampu teplok karena listrik belum masuk desa.

“Cerita tentang listrik hanyalah bunga-bunga kehidupan ketika tintir dan teplok menjadi sumber penerangan yang sehari-hari kami nikmati di rumah,” kata Ganjar.

Dengan kondisi itu, ia tak lantas minder karena hidup dalam serba keterbatasan, termasuk tak mendapatkan uang jajan. Bahkan, ia sendiri sering dikasih uang oleh teman karibnya, Dowig. Meski jumlah pemberian itu tak besar, Ganjar bukanlah tipikal yang serakah. Selain Dowig, ia punya kawan karib, seperti Joko, Kamso, dan Ngadimin. Dengan uang pemberian itu, ia biasa mengajak mereka menikmati jajanan di warung depan sekolah.

“Berbagi dengan mereka merupakan keharusan. Kebiasaan seperti ini kami lakukan silih berganti. Siapa yang mendapat rezeki selalu membagikannya dengan yang lain,” katanya.

Ganjar selalu ingat pesan bapaknya, “Berbagi rezeki tidak akan mengurangi, justru membuat kita mendapatkan limpahan rezeki yang lebih banyak lagi, asalkan kita ikhlas dan tanpa paksaan.”[]AN

Terkait:

1] Masa Kecil Ganjar (2): Sungkowo ke Pranowo

2] Masa Kecil Ganjar (3): Pindah ke Kota Leluhur