Terbit
16/4/2022
Diperbarui
17/8/2022

Masa Putih Abu (1): Tinggal di Kota Pelajar

Keputusan pindah ke Yogya ialah ide Mbak Ika. Kondisi keluarga membuat kakaknya ingin mengurangi beban orangtua.
Ganjar Pranowo saat upacara peringatan Hari Pahlawan, 10 November 2019. | Foto: Arsip Humas Pemprov Jateng

BEGITU dinyatakan lulus Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS), Ganjar Pranowo senangnya bukan main. Ia berjingkrak-jingkrak, meluapkan kegembiraannya.

Bayangan bakal sekolah di Yogyakarta telah muncul di benaknya. Di sisi lain, juga ada kesedihan karena bakal berpisah dengan orangtuanya, Mbak Watik, Mas Joko, dan Dik Nur.

Ganjar harus berangkat ke Yogyakarta. Kota yang berjarak sekitar 55 kilometer di sebelah timur Purworejo. Di sana, ia akan tinggal bersama Mas Kunto, kakak pertama, yang menikah dengan Ika Nur Hailena (Mbak Ika), kakak Dowig, teman sepermainan Ganjar sewaktu SD di Tawangmangu.

Keputusan pindah ke Yogya adalah ide Mbak Ika. Kondisi keluarga yang pas-pasan, membuat kakaknya ingin mengurangi beban orangtua. Apalagi Parmudji Pramudi Wiryo, bapak mertuanya, waktu itu sebentar lagi memasuki masa pensiun. Dengan pekerjaan yang ada, kedua kakaknya itu merasa mampu untuk membantu Ganjar bersekolah, sekalian Ganjar bisa bantu-bantu di rumahnya.

Solidaritas keluarga besar Ganjar memang terjalin sejak dini. Kakak beradik saling menjaga dan menolong satu sama lain. Saat sudah menjadi gubernur, dalam sebuah obrolan di saluran YouTube Anang Hermansyah pada 2021, Ganjar bercerita bahwa setelah kakak-kakaknya bekerja, mereka menyokong untuk membiayai adik-adiknya, mengurangi beban bapak-ibunya. Bahkan, Mbak Watik, kakak nomor empat, memilih tidak melanjutkan sekolah dan bekerja demi keluarga.

Ganjar menceritakan, dengan cara saling tolong-menolong seperti itulah mimpi saudara-saudaranya akhirnya bisa terwujud. “Alhamdulillah tiga orang menjadi sarjana, dua orang S2, dan satu orang doktor,” kata Ganjar mengisahkan perjuangan dirinya dan saudara-saudaranya meraih pendidikan di program TV Mata Najwa bertajuk “Cerita Anak Kampung: Cerita Susah Ganjar Pranowo” pada 2019.

Saat di Yogya, Mbak Ika menyarankan agar Ganjar masuk ke SMA 1 BOPKRI, sekolah milik Yayasan Badan Oesaha Pendidikan Kristen Republik Indonesia. Sekolah dengan gedung kuno berarsitektur Belanda ini, berpintu dan berjendela besar-besar, didirikan setahun setelah Indonesia merdeka.

“Walaupun itu sekolah Kristen, banyak juga siswanya yang beragama Islam. Kamu tenang saja,” kata Mbak Ika kepada Ganjar suatu kali, seperti digambarkan dalam novel “Anak Negeri: Kisah Masa Kecil Ganjar Pranowo” karya Gatotkoco Suroso.

Bagi Ganjar, Mbak Ika yang seorang mualaf adalah kakak yang penuh pengertian dan cinta kasih. Semua kebutuhan Ganjar selama di Yogya, dialah yang memikirkannya. Gambaran wawasan tentang dunia sekolah, bahkan kelak saat Ganjar kuliah, juga didapat dari kakak iparnya itu

Saat berangkat mendaftar di SMA 1 BOPKRI, Mbak Ika pula yang menemani Ganjar. Kakak yang satu ini tak pernah kendur untuk terus mengingatkan dan menyemangati agar adiknya giat belajar dan banyak menjalin pertemanan dan kegiatan.

Di SMA favorit itu, Ganjar tak sendirian. Ternyata, alumnus SMP Negeri 1 Kutoarjo ada pula yang diterima, yaitu Marsangap Siahaan. Sangap, begitu akrab dipanggil, adalah teman Ganjar yang penggila musik rock, drummer di acara musik sekolah dan festival musik di luar sekolah. Keduanya sama-sama suka berburu kaset di tempat yang sama, Pak Ragil di Pasar Kutoarjo.

Selama di Yogya, pertemanan dengan Sangap terbilang lebih dekat dibanding saat di SMP. Anak juragan sepatu keturunan Batak itu juga lebih luas pergaulan dan wawasannya tentang musik. Ganjar suatu kali diajak mencari kaset di sebuah toko kaset terkenal di Yogya: Popeye. Ganjar akhirnya bisa membeli kaset milik band rock Scorpions.

Kesenangan Ganjar dengan rock sudah muncul sejak SMP. Bahkan, di dinding kamarnya di Kutoarjo, ditempeli poster band rock. Hobi musik ini sempat dikritik sama adiknya, Nur.

“Menabung sih, menabung. Tapi, Mas Ganjar ini menabung nggak jelas karena dipakai membeli kaset aneh-aneh,” kata Nur.

“Kaset kok lagunya teriak-teriak seperti orang ngamuk…”

Kepindahan Ganjar ke Yogya meski berat bagi Ibunya, terutama, tetap direstui. Sebagai anak lelaki paling bungsu, ibunya gemati betul. Ia selalu wanti-wanti kepada Ganjar agar tidak menyia-nyiakan kesempatan.

Dan, pesan itu selalu diingatnya. “Aku tak mau membuat mereka bersedih. Kuingat tempaan dan nasihat dari bapak agar menjadi lelaki yang tangguh dan tegar, jangan menjadi lelaki lemah, mudah menangis, dan mudah patah semangat. Kesempatan jauh dari rumah kali ini adalah kesempatan bagiku untuk membuktikan bahwa aku sudah dewasa dan bisa hidup mandiri,” tutur Ganjar di novel “Anak Negeri Kisah Masa Kecil Ganjar Pranowo”.[]AN