Terbit
19/4/2022
Diperbarui
17/8/2022

Masa Putih Abu (3): Sujud di Kaki Ibu

Sri Suparni kaget melihat anaknya mendadak telah berada di kedua kakinya. “Kok teko-teko nangis,” ujarnya kepada Ganjar.
Ganjar bersama sang ibunda, Sri Suparni pada 2013. Sri meninggal dunia pada 28 Maret 2015. | Foto: Liputan6.com

SEHARI menjelang Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS), bapak-ibunya datang ke Yogya. Menengok kondisi dan persiapan Ganjar menghadapi ujian. Mereka ingin memastikan kondisi anak nomor lima itu dalam kondisi sehat. Sebab, saat di SMP, Ganjar jatuh sakit saat ujian kelulusan.

Di kesempatan itu pulalah, Parmudji, sang ayah, juga mengabari sesuatu hal yang di mata Ganjar bisa dibilang “paling krusial”. Karenanya, hal itu membuat Ganjar gundah gulana dengan mimpinya untuk bisa kuliah.

“Sekarang bapak sudah pensiun karena memang sudah waktunya. Jadi, bapakmu ini sudah tidak memegang gaji seperti waktu itu. Oleh karena itu, kamu sebagai lelaki harus rajin menabung. Kalau mendapatkan uang, jangan dipakai membeli yang bukan-bukan…” ujar Parmudji, yang dituliskan novelis Gatotkoco Suroso dalam “Anak Negeri: Kisah Masa Kecil Ganjar Pranowo”.

Sri Suparni, ibunda, juga turut menimpali. “Yang rajin belajarnya. Jangan iri dengan barang milik orang lain,” katanya.

Ujian kelulusan SMA dilewati. Ganjar dinyatakan lulus. Namun, satu hal yang masih mengganjal di dalam benaknya: apakah bisa kuliah atau tidak. Ini lantaran kondisi keluarga yang pas-pasan. Belum lagi kuliah butuh biaya yang tak sedikit.

Tanpa bicara dengan kedua kakaknya, Mas Kunto dan Mbak Ika, Ganjar nekat mendaftarkan diri ke UGM. Dan, kenekatan itu berbuah manis, Kampus Bulaksumur itu menerimanya. Ganjar makin dilematis. Bagaimana mengabarkan tersebut ke orangtuanya?

Ia menyadari apa pun jawaban orangtuanya, hanya bisa pasrah. Pagi-pagi buta ia pulang ke Kutoarjo. Memilih bus pertama dari Yogya. Setelah tiga jam perjalanan naik bus, tibalah Ganjar di rumah. Di jalan gang, ia telah melihat ibunya di waktu subuh sudah membuka warungnya. Ia berlari menghampiri sang ibunda, Sri Suparni. Ia memeluk kaki sang ibu dengan lelehan air mata, menangis.

“Aku bersujud di kaki ibu, sungguh tidak sanggup mengucap sepatah kata pun,” cerita Ganjar dalam novel “Anak Negeri”.

Sri kaget melihat anaknya mendadak telah berada di kedua kakinya. “Kok teko-teko nangis,” ujarnya. Ganjar pun bercerita tentang “misi” yang dibawanya dari Yogya.

“Ganjar ikut tes di UGM dan diterima, tapi Ganjar bingung. Ganjar tahu keadaan keluarga sekarang seperti apa,” Ganjar menjelaskan maksud kepulangannya itu.

Usai mengutarakan itu, tangisnya meledak. Ia minta maaf atas permintaan itu. Sang ibu juga larut dalam sedu sedan. Bapaknya dibuat kaget dengan tangisan keduanya. Sri menjelaskan bahwa Ganjar ingin kuliah seperti Mas Budi. “Anakmu ketrimo nang UGM,” ujar Sri.

Mendengar permintaan anaknya ingin kuliah, Parmudji dan Sri pun meminta waktu agar Ganjar menunggu. Parmudji sadar betul bahwa kuliah butuh biaya yang tidak sedikit.

Kabar penerimaan tes itu memang baru sebatas melalui surat yang dikirimkan oleh kampus. Selain lewat surat, kampus juga mengumumkan hasil ujian melalui koran. Hasil tes SIPENMARU 1987 muncul di koran ketika Ganjar sedang membantu ibunya berjualan bensin. Ia membeli koran, lalu membawa kepada ibunya, menunjukkan namanya tertera di sana.

“Saya cek dan ternyata nama saya tertera sebagai salah satu peserta yang lolos,” tutur Ganjar saat bercerita di “Bincang Alumni UGM Update bersama Ganjar Pranowo" pada 2020, dikutip dari KOMPAS.com.

Membaca namanya tertera di koran, ia pun pulang ke rumahnya yang berjarak sekitar 70 meter. "Sesampainya di rumah saya cerita ke Ibu. Dan, diciumilah pipi saya sembari beliau menangis bahagia," katanya.

Mbak Watik dan Mas Joko (Priyadi Joko Prasetyo) yang tahu persoalan itu ikut mendorong adiknya bisa kuliah. Kedua kakaknya itu rela tak sekolah asalkan Ganjar bisa kuliah. “Wis rapopo…biar aku dan Watik nggak sekolah, yang penting kamu bisa sekolah lagi. Aku sudah seneng banget kok,” ucap Mas Joko.

Mas Joko di mata Ganjar adalah kakak yang sederhana. Jarang-jarang ia berbicara jika tidak terlalu penting. Dia juga sering mengalah demi adik-adiknya.

“Mbak Watik yo ikhlas kok, dik Ganjar yang kuliah. Nanti sedikit-sedikit aku bantu,” Mbak Watik ikut menyambung.[]AS