Terbit
20/4/2022
Diperbarui
17/8/2022

Masa Putih Abu (4): Tirakat hingga Gadai Sertifikat

Selama hidupnya, Parmudji menjalankan banyak laku tirakat alias prihatin. Hal ini menurun pada anak-anaknya, termasuk Ganjar.
Ganjar Pranowo bersama ibunda, Sri Suparni, yang tengah terbaring sakit di RSUP Dr Sardjito Yogyakarta, 2015.

PANDANGAN hidup orang Jawa itu bisa terlihat dari tata urip, tata karma, dan tata laku. Kerangka berpikir ini mewujud dalam kehidupan sehari-hari orang Jawa yang tumbuh turun-temurun, mewarisi setiap generasi. Salah satu contohnya adalah saat pemberian nama anak.

Parmudji Pramudi Wiryo memberikan nama anaknya, “Ganjar Pranowo”, karena memiliki maksud, harapan-harapan tertentu. Di keluarga besarnya, dengan enam anak, Parmudji selalu mendidik anaknya dengan nilai-nilai yang luhur dan bijak—tata laku salah satu yang diulang-ulang disampaikan kepada anak-anaknya.

Suatu kali Ganjar memberanikan diri untuk bertanya saat bapaknya menembang macapat. Saat itu Parmudji sedang membaca sinom karya KGPAA Mangkunegoro IV yang ditulis dalam Serat Wedatama pupuh sinom podo 15.

Nuladha laku utama

Tumrape wong tanah Jawi

Wong agung ing Ngeksiganda

Panembahan Senopati

Kapati amarsudi

Sudaning hawa lan nepsu

Pinesu tapabrata

Tanapi ing siyang ratri

Amemangun karyenak tyasing sasama

(Artinya: Contohlah suatu perbuatan yang utama/Untuk kalangan orang di tanah Jawa/Orang besar (dihormati) di Ngeksiganda (Mataram)/Panembahan Senopati/Sangat tekun dalam usaha/Mengurangi hawa dan nafsu/Dengan cara berperilaku/ bersikap prihatin atau tapa/Yang dilakukan siang dan malam/Selalu berkarya membangun ketentraman hati bagi sesama)

“Bapak adalah sosok yang religius, namun sangat mencintai budaya. Wayang dan ketoprak adalah kesenian yang sangat beliau gemari,” kata Ganjar kepada novelis Gatotkoco Suroso dalam “Anak Negeri: Kisah Masa Kecil Ganjar Pranowo”.

Ganjar bertanya tentang maksud sinom tersebut. Sang bapak menjelaskan, bahwa sejatinya hidup seseorang bisa tenteram jika bisa mengerti dan menerapkan perilaku baik. Ia pun berpesan agar Ganjar menjadi orang Jawa yang tidak kehilangan kejawaannya. “Kamu harus bisa menelaah ajaran luhur dalam tembang itu. Syukur-syukur kalau bisa menjalankannya juga,” kata Parmudji.

Selama hidupnya, Parmudji menjalankan laku tirakat alias prihatin. Hal ini menurun pada anak-anaknya, termasuk Ganjar. Sang bapak selalu mewanti-wanti bahwa mereka bukan keluarga kaya raya, hidup pas-pasan dari seorang polisi rendahan. Ibunya juga selalu berpesan agar “jangan iri dengan barang milik orang lain.”

Laku tirakat dilakukan Ganjar di masa-masa SMA. Ia tahu diri biaya sekolah tidak sedikit. “Keluargaku dalam masa yang lumayan sulit karena aku dan Nur masih membutuhkan banyak biaya,” ujarnya.

Ganjar mulai membiasakan diri puasa Senin-Kamis, “Sebagai bentuk keprihatinan agar kelak aku selalu dimudahkan dalam menggapai sesuatu,” Ganjar bercerita. Bahkan, jika kondisi fisiknya sedang baik, ia malah melakukan puasa Nabi Daud—puasa selang-seling, sehari berpuasa dan sehari tidak.

Dengan puasa begitu, ia bisa menyisihkan uang saku untuk ditabung. Berbekal uang celengan ini pulalah, ia juga mendaftarkan diri ke UGM. Dari uang itu, ia bisa membeli soal-soal SIPENMARU, tes penerimaan mahasiswa baru. Gara-gara membayar uang pendaftaran hingga membeli soal-soal itu, ia kehabisan uang dan pulang jalan kaki ke rumah kakaknya.

Rasa sayangnya Parmudji dan Sri kepada Ganjar begitu besar. Setelah tahu bahwa Ganjar diterima di UGM, dengan pertimbangan yang matang, orangtuanya akhirnya mengizinkannya untuk kuliah.

“Bapak ibumu merestuimu…masmu, mbakmu, dan adikmu juga setuju bila kamu kuliah. Tapi, amanat ini berat karena kamu harus bersungguh-sungguh,” kata Parmudji.

Sri Suparni, ibunya pun menambahkan. “Betul, Le. Jangan sekali-kali mengecewakan bapak dan ibumu, ya? Sertifikat tanah sudah kami gadaikan ke bank. Tidak apa-apa, yang penting kamu bisa kuliah,” ujar Sri.

Ganjar langsung terenyuh mendengar perkataan orangtuanya. Dadanya sesak. Begitu besar pengorbanannya bapak-ibunya. “Aku bersujud di telapak kaki ibu. Air mata menetes, membasahi pipi…,” tutur Ganjar.

Dengan membawa amanah yang besar, ia balik lagi ke Yogya sambil membawa sekantong plastik berisi uang hasil pinjaman dari bank. Seumur hidupnya, ia belum pernah melihat uang sebanyak itu.

Mas Kunto (Pri Kuntadhi), kakak pertamanya, juga mengingatkan kembali akan amanah bapak-ibu. Mbak Ika, istri Mas Kunto, yang sejak SMP sudah gemati betul dengan adiknya itu, tak pernah putus untuk memberikan wejangan.

Mbak Ika juga berpesan agar menjaga diri dan nama baik keluarga selama di kampus. “Di kampus banyak sekali hal yang bisa dilakukan, sehingga terkadang mahasiswa lupa akan fungsi dan tugas sesungguhnya,” ucap Mbak Ika.[]AS