Terbit
16/8/2022
Diperbarui
18/8/2022

Menciptakan Desa Mandiri Energi dengan Biogas

Tahun ini, Pemerintah Jawa Tengah menambah distribusi digester biogas di desa-desa sebanyak 113 unit.
Salah satu digester biogas yang dibangun atas bantuan Pemprov Jateng. Foto: Humas Pemprov Jateng

HINGGA awal Agustus 2022, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah telah menyalurkan 270 digester biogas di desa-desa. Program yang digagas sejak 2018 ini bertujuan untuk mendorong kemandirian dan kedaulatan energi di desa-desa.

Secara sederhana, digester adalah alat penampungan kedap udara. Alat ini dipakai untuk mengolah limbah bio atau biomassa, seperti tinja ternak atau manusia jerami dan sampah organik lain, untuk menghasilkan biogas.

Biogas  yang mengandung 70 persen gas metana adalah alternatif pengganti bahan bakar minyak. Energi terbarukan ini cocok diterapkan di daerah pedesaan, karena kepemilikan hewan ternak yang cukup besar.

Data Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Jawa Tengah menyebutkan dari 2018 hingga 2021 bantuan digester biogas berjumlah 157 unit. Tahun ini, pemprov menambah distribusi alat sebanyak 113 unit.

Menurut Kepala ESDM Jateng Sudjarwanto Dwiatmoko, Gubernur Jateng Ganjar Pranowo ingin agar desa-desa di Jateng bisa mandiri dalam hal sumber energi.

Makanya, Jateng memiliki program bernama Desa Mandiri Energi. “Artinya bagaimana desa itu membangkitkan energi, membakar energi, dan menggunakan energi dari potensi yang dimiliki. Biogas, salah satunya,” katanya, dikutip dari Antaranews.com, 3 Agustus 2022.

Tahun ini, kata Sudjarwanto, jumlah Desa Mandiri Energi juga akan ditambah lagi. Hanya, ada perbedaan dengan pola pengembangan. Sejak 2021, ada pemberdayaan peternak dan industri rumah tangga.

Dengan adanya itu, banyak warga yang meminta bantuan. “Kami sebut padat karya untuk biogas—kami bantu aspek peralatan dan teknologi, rakyat yang gotong royong,” ujar Sudjarwanto.

Bantuan teknologi biogas tersebut kini sudah dirasakan manfaatnya oleh warga. Di Kabupaten Sukoharjo, misalnya, Paguyuban Peternak Desa Marten di Kecamatan Bendosari mampu mengembangkan 15 titik kompor.

Dari jumlah tersebut, dua rumah telah mempergunakan sumber energi terbarukan itu untuk mendukung usaha UMKM seperti produksi cilok dan peyek. Adanya biogas ini juga mampu menekan pengeluaran konsumsi elpiji bersubsidi. Masak jadi lebih irit.

Samiyem merasakan berkah dari bantuan biogas Pemprov Jateng. Warga Desa Samirono, Kabupaten Semarang itu dalam setahun terakhir tak pernah lagi membeli gas elpiji 3 kilogram (melon).

Ia sudah memakai biogas. Samiyem memiliki pengalaman memasak sejak memakai kayu bakar lalu beralih gas melon. Kala itu, ia harus mencari kayu bakar sejauh 1,5 kilometer. Untuk kebutuhan sepekan, ia harus menyediakan waktu sehari untuk 3-4 kali bolak-balik mengambil kayu bakar, ujarnya seperti ditulis Mongabay, 12 Agustus 2022.

Foto: Humas Pemprov Jateng

Tahun lalu, Samiyem mendapatkan bantuan digester biogas. Di belakang rumahnya dibangun tangki kedap udara, dekat dengan kandang sapi miliknya yang berisi dua ekor.

Tinja sapinya dimasukkan ke dalam digester, tapi terlebih dulu dicampur air dengan perbandingan satu liter kotoran dicampur satu liter air. Dari situlah terjadi fermentasi yang menghasilkan gas metana dan gas lain.

Tak sekadar untuk memasak, Samiyem memakai gas itu untuk penerangan petromaks. “Pakai itu saja udah lebih dari cukup. Enggak perlu beli elpiji lagi, uang bisa buat sekolah anak,” tuturnya.

Sebagai gambaran, Desa Samirono terletak di kaki Gunung Merbabu dengan ketinggian 1.000 meter di atas permukaan laut. Dengan begitu, lokasi ini cocok untuk ternak. Pada 2018, desa itu memiliki sebanyak 2.430 ekor sapi.

Dari pengembangan tinja ternak warga, Kepala Desa Samirono, Slamet Juriyono, mengatakan, pada 2021 volume biogas mencapai 644 meter kubik dengan produksi sekitar 252 m3 per hari. Dan, kini biogas itu dipakai 152 keluarga dari total 800 keluarga, lapor Mongabay.

Slamet mengatakan, kini biaya listrik juga sudah berkurang drastis. “Biasa Rp300 ribu sebulan, sekarang Rp20 ribu-25 ribu,” ujar Slamet.

Warga Dukuh Meranji, Desa Wonokerso, Kabupaten Batang juga merasakan hal yang sama dengan Samiyem.

Suripah (50), salah satunya, tak lagi membeli gas elpiji. Ia sangat terbantu dengan bantuan digester biogas secara swakelola dari Pemprov Jateng yang dimulai tahun ini.

Memang saat memulai memasak, tercium bau tak sedap, seperti kotoran ternak, tapi setelah agak lama bau itu hilang. Ia pun sudah terbiasa dengan hal itu.

Yang menarik Suripah tidak memiliki ternak seperti Samiyem. “Tapi saya dapat sambungan (pipa biogas) dari tetangga saya sejak 29 April 2022,” ujar dia, dikutip dari RMOL Jateng, 24 Juni 2022.

Tetangga Suripah-lah yang memiliki hewan ternak dan kotorannya dipakai untuk biogas. Dari digester, barulah diinstal saluran gas ke warga.

Kepala Desa Wonokerso, Muhamidin, mengatakan, awalnya sulit meyakinkan warganya untuk berpindah ke biogas. Butuh setahun, ia menarik hati warganya.

Penolakan itu simpel karena warga terbiasa bikin kompos. Jika kotoran dibuat biogas, pupuk kompas tidak ada.

Proyek yang baru berjalan sejak April itu, kata kades, kini sudah mulai diminati warganya, bahkan yang semulanya menolak.

Desa Wonokerso mendapat bantuan 10 unit biogas, terdiri atas delapan swakelola dan dua unit komunal. Sejak ikut program itu, kandang-kandang ternak terlihat bersih. Kotoran-kotoran ternak tidak lagi ditumpuk.

Yang jelas, “Juga tidak ada yang sia-sia dari beternak sapi,” ujar Muhamidin.[] AN