Terbit
18/7/2022
Diperbarui
13/8/2022

Menebarkan Perdamaian untuk Dunia

Untuk bisa mencapai perdamaian dalam skala besar, perjuangan dalam ruang besar kita butuhkan.
Foto: freepik.com
Ganjar Pranowo

SELAMA bertahun-tahun bekerja bareng Pak Jokowi, rasa-rasanya saya tidak pernah merasa cemas melebihi kecemasan beberapa waktu lalu saat beliau berkunjung ke Ukraina sekaligus ke Rusia.

Bagaimana tidak coba? Kita semua tahu, sampai saat ini kedua negara tersebut masih bertikai. Saling memblokade, saling serang dan saling menghancurkan.

Tapi, di antara kecemasan itu, ada juga kebanggaan yang saya rasakan. Karena cuma Presiden Jokowi-lah yang secara kongkret berani menjadi penengah kedua belah pihak untuk berdamai.

Sebagaimana yang beliau lakukan untuk menengahi konflik yang terjadi di Afghanistan. Ancaman peluru, bom sampai roket tidak melunturkan tekad beliau untuk membuktikan posisi Indonesia yang menginginkan perdamaian dunia.

Undang-undang Dasar negara kita di dalam pembukaannya menyebutkan, “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa. Dan, oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan. Karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”

Di balik keberanian Presiden Jokowi, karena niatan negara kita jelas. Tak ada maksud tersembunyi untuk mencari dukungan apalagi keuntungan.

Selama ini kita berdiri di atas negara yang mulutnya tidak kelu ketika bicara perdamaian. Negara kita tidak kelu ketika mengampanyekan peacefull and solidarity. Karena memang kita tidak punya beban sejarah pertumpahan darah pada penduduk dunia.

Maka, ketika ada pertempuran, ada pertumpahan darah di mancanegara, tugas kita adalah membawa kedamaian dan cinta di antara mereka.

Memang berat. Tugas yang telah dipilih founding fathers untuk kita di percaturan dunia sangat berat. Tapi, jika dipikir secara nalar orang awam, tanpa pilihan tugas dari para founding fathers, kita pun sudah semestinya untuk menjaga perdamaian dunia.

Karena sebenar-benarnya alasan untuk berperang, tidak akan pernah bisa dibenarkan. Nah, untuk bisa mencapai perdamaian dalam skala besar, perjuangan dalam ruang besar kita butuhkan.

Tentu kita cuma akan jadi kucing ompong jika cuma berteriak perdamaian dari dalam kamar. Tidak bisa. Perdamaian juga membutuhkan perjuangan. Dan, perjuangan itu memerlukan senjata. Dan senjata yang paling ampuh adalah kebenaran.

Tanpa laku yang benar, kita cuma akan jadi korban kucing-kucingan. Tanpa perbuatan yang benar, kita cuma akan disalah-salahkan. Maka orang Jawa punya prinsip, kudu ndeleng gethoke dewe. Harus bercermin pada diri sendiri.

Saya sendiri tidak akan bilang, “Hei kalian-kalian, tirulah para orang suci dalam menjalankan laku dan menebar kedamaian. Yang apabila melihat orang yang mencelakainya terjebut ke kubangan es, dia tidak akan lari tapi justru mengulurkan tangan untuk membantu. Meski pun akhirnya dia sendiri bakal kehilangan nyawa.”

Tidak. Saya tidak akan bilang demikian. Karena kebenaran sejatinya telah tertanam di setiap jiwa insan. Kita semua tahu mana yang benar dan mana yang salah. Karena benar dan salah itu seperti siang dan malam, sangat jelas dan nyata perbedaannya.

Pilihan bergantung pada kita, ingin berdamai atau bertikai. Presiden kita telah memberi contoh, yang berani menebar damai di tanah bertikai.

Saya yakin, bekal kebenaran dan kedamaian yang kita cipatakan, akan ngrembaka (tumbuh dan berkembang)di seluruh penjuru dunia. Terima kasih.[]