Terbit
13/4/2022
Diperbarui
13/8/2022

Menjaga Keberagaman, Membudayakan Toleransi

Jawa Tengah tercatat sebagai provinsi dengan kasus pelanggaran terhadap kebebasan beragama yang paling kecil.
Freepik.com
Totok WP

RISET longitudinal yang rutin dilakukan SETARA Institute terhadap kondisi kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) di Indonesia menghasilkan temuan menarik. Dibandingkan provinsi utama lainnya di Pulau Jawa, Jawa Tengah tercatat sebagai provinsi dengan kasus pelanggaran terhadap kebebasan beragama yang paling kecil.

Secara nasional, mengutip laporan SETARA Institute paling gres (dirilis 10 Februari 2022), pelanggaran KBB sepanjang tahun 2021 paling banyak terjadi di Jawa Barat. Disusul DKI Jakarta, Jawa Timur, lalu melompat ke Kalimantan Barat dan Sumatera Utara. Artinya, Jawa Tengah tidak masuk lima besar.

Laporan tahunan yang diterbitkan sejak 2007 itu mencakup kumpulan data KBB dan analisis beberapa fenomena KBB yang menonjol di tahun bersangkutan. Untuk laporan tahun 2021, SETARA Institute mengangkat tema ”Mengatasi Intoleransi, Merangkul Keberagaman”.

Pemilihan tema itu didasarkan pada semakin menguatnya intoleransi dalam masyarakat dan berlangsungnya upaya penyeragaman yang menurunkan penghormatan terhadap keberagaman.

Keluarnya Jateng dari kelompok lima besar pelanggaran KBB tentu menarik dicermati. Meminjam telaah Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, kuncinya terletak pada spirit Jateng sebagai wilayah benteng Pancasila yang memahami keberagaman. Spirit yang secara informal sudah diterapkan dengan baik dalam kehidupan bermasyarakat maupun secara formal di lingkungan Aparatur Sipil Negara (ASN) dan sekolah.

Kunci lain untuk merawat keberagaman adalah komunikasi, karena hal itulah yang diperlukan publik. Komunikasi harus intens dilakukan antarkelompok masyarakat, kelompok agama, pemimpin dan masyarakat. Termasuk, komunikasi dengan gaya informal seperti saling berkunjung dan tidak mempersoalkan perbedaan-perbedaan.

Ganjar berpendapat penanganan terhadap praktik toleransi dalam masyarakat lazim dilakukan dengan lentur. Berbeda halnya jika berkenaan dengan ASN maupun siswa sekolah. Agar ASN atau pegawai negeri bersikap toleran, Ganjar lebih memilih melakukannya dengan mengeluarkan perintah.

Sedangkan, kepada siswa, dilakukan melalui edukasi. Perlu ditanamkan pemahaman tentang keberagaman serta contoh-contoh perilaku toleran. Lalu, memfasilitasi siswa dengan kerja-kerja solutif dan kolaboratif yang lebih bersifat sosial. Kalau hal itu dilakukan sejak dini, niscaya akan membekas.

Upaya menjaga keberagaman, menurut Gubernur Ganjar, merupakan kerja kualitatif. Hasilnya tak bisa diukur dalam sekejap dan memerlukan anggaran yang tidak kecil. Namun, beratnya menjaga dan mahalnya biaya toleransi itu tidak sebanding dengan sakit dan mahalnya biaya recovery jika keberagaman itu terkoyak.

Menjadi masalah karena, dalam beberapa tahun terakhir, ada tangan-tangan yang berupaya merobek persatuan – di Jateng maupun Indonesia. Pihak-pihak itu telah membaca kemungkinan Indonesia bakal menjelma menjadi negara dengan perekonomian yang sangat kuat.  

Dimilikinya kekayaan alam, suku, bahasa dan budaya, membuat Indonesia tidak sekadar menjadi sorotan dunia. Tapi, juga menjadi incaran. Mereka tidakmenginginkan Indonesia dengan perekonomian yang kuat itu terwujud. Dari situ, mereka lantas melakukan beragam tindakan.

Secara ideologi, bangsa ini akan terus diganggu dan dipengaruhi. Secara strategi, akan terus dilakukan pembelahan. Salah satu pancingan efektif untuk menciptakan intoleransi di Indonesia adalah dengan melempar isu ideologi.

Ganjar bersyukur Jateng memiliki cara khusus untuk mengatasi perbedaan. Yakni, lewat rembugan. Duduk bersama, ngobrol tentang suatu masalah untuk mencapai kebaikan.

Rembugan diperlukan, bahkan dibawa ke level nasional, lantaran mereka yang tidak menghendaki Indonesia solid dan besar pasti tidak berhenti mengganggu. Apalagi, Indonesia memang punya potensi untuk dipecah belah.

Ganjar lalu menyarankan perlunya kita merapatkan barisan untuk menjaga keberagaman dan membudayakan toleransi. Caranya adalah lewat komunikasi yang baik, pendekatan budaya yang baik, saling melakukan penghormatan dengan baik, juga merawat ideologi dengan baik.

Kalau itu terjadi, kita akan mendapatkan vaksinasi secara bersama-sama, sehingga memiliki imunitas. Daya tahan tubuh meningkat dan kebal terhadap pengaruh dan serangan dari luar.[]