Terbit
10/11/2022
Diperbarui
10/11/2022

Mewarisi Api Perjuangan, Menuju Indonesia Lumbung Pangan Dunia

Karena di tangan para ahli, ubi kayu tidak cuma bisa direbus atau digoreng atau cuma dijadikan keripik. Karena ubi kayu bisa kita olah menjadi mocaf, bisa kita olah jadi tepung yang kualitasnya tidak kalah dari gandum.
Sumber foto: Freepik.com
Ganjar Pranowo

Assalamualaikum warahmatullahi Wabarakatuh. Salam Sejahtera untuk Kita Semua. Om Swastiastu. Namo Buddhaya. Rahayu.

Rektor, dekan, teman-teman dosen, para wali, wisudawan dan seluruh tamu undangan yang saya hormati. Sebelum melanjutkan, saya cuma mengingatkan, saya ini bukan ilmuwan. Jadi rasa-rasanya kurang tepat jika saya memaksakan diri untuk orasi ilmiah. Karena sudah pasti saudara-saudara yang di depan ini lebih intelek dibanding saya. Tapi karena sudah diundang, yaah mau gimana lagi. Hehehe. Untuk menghormati podium yang mulia ini saya pengin bercerita saja. Jadi saudara-saudara bisa mendengarkan dengan santai, dengan rileks. Jangan tegang-tegang. Di momen membahagiakan ini jenengan semua mesti senang.

Bapak ibu. Beberapa waktu lalu saya berkunjung di kediamannya Mas Butet Kertarajasa. Kebetulan teman-teman seniman juga sedang ngumpul di sana. Ada musisi, aktor, sastrawan, pelukis dan lainnya. Mereka ini orang-orang keren dengan karya yang keren. Setelah makan bareng, Mas Butet ngajak saya keliling menyaksikan koleksi lukisan teman-temannya. Ada lukisan orang menarik harimau, ada lukisan Hugeng yang sedang melukis dirinya dengan pakaian dinas kepolisian tapi belum tuntas. Ada lukisan Gus Dur dan ada lukisan Bung Karno. Meski semuanya keren-keren, tapi saya justru tertarik dengan lukisan Bung Karno yang sedang memegang satu batang rokok yang menyala. Di bagian atas lukisan itu ada kutipan ucapannya beliau, Warisilah Apinya, jangan abunya. Meski sudah tahu ungkapan tersebut puluhan tahun, tapi kali ini rasanya sangat berbeda ketika kembali membaca kalimat itu. Ada semangat yang ditularkan sekaligus ada tamparan yang saya rasakan. Sudahkah kita benar-benar mewarisi api perjuangan beliau? Atau justru kita sibuk mencari debunya? Karena sikap yang kita pilih, akan mempengaruhi nasib kita saat ini dan nasib anak cucu kita di masa mendatang. Sebagaimana sikap yang para pendahulu pilih, juga sangat berpengaruh pada nasib kita saat ini.

Bagaimana coba jadinya jika dulu para founding fathers Republik ini memilih untuk bergabung dalam blok barat atau pun blok timur? Karena selain mempengaruhi pergaulan internasional negara ini, pasti juga akan mempengaruhi kondisi dalam negeri. Dari politik, sosial, kebudayaan sampai perekonomian. Dalam konteks ini, sampai sekarang kita masih istikomah memegang api perjuangan itu. Dan api perjuangan tersebut jadi modal sangat berharga bagi kita untuk menghadapi segala macam krisis, termasuk krisis yang saat ini melanda dunia. Bukan cuma krisis pangan dan energi, saat ini dunia juga terancam krisis politik yang akan jadi pintu masuk inflasi semakin tinggi. Bahkan saat ini di kawasan eropa inflasi sudah tembus di angka 9,9 persen, dan itu jadi rekor inflasi tertinggi sepanjang sejarah di kawasan tersebut. Orang-orang di Prancis, Jerman, Ceko, Rumania, Hungaria sampai Belgia melakukan aksi besar-besaran memprotes kenaikan harga barang dan biaya hidup. Belum lagi di Inggris Raya, Italia, Rusia, Belanda yang inflasinya sudah lebih dari 10 persen. Makanan susah, pekerjaan susah, energi juga susah. Kehidupan warganya terancam, di tambah musim dingin akan segera datang. Lebih ngeri lagi kondisi Argentina, Turki, Suriah, Libanon dan Zimbabwe yang inflasinya sudah lebih dari 80 persen dan terancam bangkrut. Resesi global sudah di depan mata. Tahun 2023 kondisi dunia akan semakin gelap dan bikin megap-megap. Presiden Jokowi mengatakan, 28 negara saat ini antre di pintu gerbang IMF minta pertolongan, seperti antreannya warga negara-negara maju di dunia yang saat ini minta bantuan. Lantas, apakah semua kekacauan itu bakal merembet ke negara kita? Apakah kita siap?

Secara garis besar bapak ibu, dengan pertumbuhan perekonomian di angka 5,4 persen dan inflasi di angka 5,9 persen kondisi negara kita masih relatif terkendali. Bahkan secara umum, lebih baik dibanding negara-negara anggota G20. Tapi meskipun masuk zona aman, tentu kita tidak cukup dengan tinggal diam. Karena jika jika gejolak geopolitik ini kita biarkan, Indonesia pun bakal ikut terkena pukulan berat. Maka perdamaian adalah kunci utama perbaikan sengkarut dunia saat ini. Apa yang dilakukan Presiden Joko Widodo dalam upaya mendamaikan Rusia dan Ukraina sangatlah tepat. Dan sebagaimana kita tahu, upaya itu masih akan dilanjutkan oleh Presiden saat puncak Presidensi G20 15-16 November mendatang. Bahkan, dengan segala potensinya, Indonesia diyakini sebagai negara yang mampu meredakan ketegangan dunia, baik itu ketegangan perang Rusia - Ukraina maupun ketegangan perang dagang China - Amerika. Maka di sinilah kita bisa merasakan manfaat besar telah mewarisi api perjuangan nonblok yang telah dideklarasikan founding fathers Republik ini. Sehingga kita bisa bergerak bebas secara aktif untuk menciptakan perdamaian dunia.

Bapak ibu hadirin sekalian, jika secara eksternal kekuatan kita sudah mendapat pengakuan dunia internasional, apakah kita akan membiarkan diri sebagai kendang? Yang cuma tebal di bagian luar sementara kosong tanpa isi di dalam? Modal kita sebagai negara besar telah semakin tebal. Mimpi kemakmuran dan kemajuan semakin nyata untuk kita realisasikan. Tapi bapak ibu hadirin sekalian, sebenarnya bagaimana sih bayangan kita tentang kemakmuran sebuah negara? Bagaimana sih imajinasi kita tentang sebuah negara maju? Sudah kah dua hal itu ada di benak kita? Jika belum, mari kita sama-sama melahirkan bayangan dan imajinasi kemakmuran dan kemajuan sebuah negara.

Dalam skala kecil, negara ini adalah sebuah rumah. Lahan dan bangunan sudah ada. Penghuni, ada. Aturan-aturan juga sudah ada. Untuk menjaga kehidupan penghuni, diperlukan makanan. Untuk meningkatkan kualitas penghuni, pendidikan diperlukan. Sementara untuk menjaga eksistensi, penghuni harus melahirkan karya dan memperluas pergaulan. Semua itu bisa terealisasi jika penghuni punya pekerjaan sebagai sumber penghasilan.   Intinya, setelah negara ini ada harus menjadi berkualitas dan eksis di dunia internasional. Eksistensi kita bisa muncul ketika bisa memenuhi permintaan dan kebutuhan negara lain. Dalam kondisi krisis dunia saat ini misalnya. Seluruh negara-negara di dunia mengalami kesulitan pangan. Semua menjerit karena seluruh harga kebutuhan menjadi mahal. Bisakah kita memenuhi itu? Maka kita mesti mengejar predikat bukan sekadar kemandirian pangan tapi juga sebagai lumbung pangan dunia. Kenapa capaian itu harus kita jadikan target? Karena kita punya kekuatan yang sangat besar untuk merealisasikan itu. Tapi yang harus kita ingat, untuk mencapai target Indonesia sebagai lumbung pangan dunia, sektor pertanian harus diserahkan pada ahlinya. Untuk itulah di masa silam, setelah melewati proses yang sangat panjang, Bung Karno akhirnya bisa melahirkan Insitut Pertanian Bogor. Karena bagi Bung Karno urusan pangan adalah urusan hidup matinya sebuah bangsa dan negara.

Ketika pertanian diurus oleh ahlinya, maka ubi kayu yang mulanya seharga Rp. 700,- bisa naik 2 kali lipat untuk keperluan produksi pangan alternatif. Karena di tangan para ahli, ubi kayu tidak cuma bisa direbus atau digoreng atau cuma dijadikan keripik. Karena ubi kayu bisa kita olah menjadi mocaf, bisa kita olah jadi tepung yang kualitasnya tidak kalah dari gandum. Bahkan jika harga tepung terigu itu Rp. 7.700, maka mocaf atau tepung dari singkong ini seharga Rp 5.500 perkilogram. Artinya, dengan potensi pasar yang sangat besar, produksi ubi kayu ini harus kita optimalkan. Jika saat ini negara kita cuma bisa memproduksi ubi kayu sebanyak 19 juta ton, di tahun-tahun mendatang harus bisa mencapai sekian ratus ton. Caranya? Bagaimana ubi kayu ini berumur panen lebih pendek dengan bobot yang lebih berat dan kualitas lebih bagus. Hal sama juga harus kita lakukan pada porang, sagu, padi, kedelai, bawang merah, bawang putih, tanaman hortikultura, termasuk juga tanaman-tanaman perkenbunan seperti kopi, tembakau, cengkeh, lada, asparagus, tebu sampai sawit.

Di Jawa Tengah misalnya. Kita menggandeng IPB dan Bank Indonesia untuk mengoptimalkan produksi bawang putih. Terus terang, kita malu bapak bapak ibu, masak hampir 99 persen dari total kebutuhan bawang putih nasional kita harus impor. Padahal banyak banget daerah yang bisa memproduksi tanaman itu. Di Jawa Tengah saja setidaknya ada 8 kabupaten kota, belum lagi yang ada di NTB, NTT, Bali, Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Utara dan lain sebagainya. Tidak. Kita tidak boleh bergantung pada negara lain apalagi untuk urusan pangan.

Sama halnya untuk urusan energi. Ketika Eropa kelabakan saat Rusia menghentikan pasokan gas, maka kita juga harus mengencangkan ikat pinggang. Jangan sampai kejadian serupa menimpa kita. Negara kita ini bapak ibu, sudah sejak dari sononya jadi ladang energi. Bukan hanya energi fosil, potensi energi baru terbarukan kita sangat besar. Air, angin, matahari, panas bumi sampai bio energi kita sangat besar.  Yakni mencapai 417,8 gigawatt (GW). Potensi tersebut berasal dari arus laut samudera sebesar 17.9 GW, panas bumi 23,9 GW, bioenergi 32,6 GW, angin 60,6 GW, air 75 GW, dan matahari atau surya 207,8 GW. Energi itu tidak akan ada habisnya untuk kita manfaatkan. Tapi saat ini, menurut International Renewable Energy Agency (IRENA), kapasitas terpasang pembangkit energi terbarukan di Indonesia masih sangat minim, yakni baru 0,3% dari seluruh potensi yang ada. Dan percepatan optimalisasi pemanfaatan itu cuma bisa dilakukan oleh para ahli.

Maka jika imajinasi sebuah kemakmuran dan kemajuan negara sudah kita dapatkan, optimalisasi dua sektor itu bakal jadi senjata ampuh untuk kita menaikkan derajat Indonesia. Tapi negara juga mesti turun tangan. Lewat pemerintah, negara mesti mesti memberi target jelas pada lembaga-lembaga pendidikan terutama perguruan tinggi untuk melakukan riset dan pengabdian masyarakat. Basicnya bukan sekadar mengalokasikan lalu menghabiskan anggaran. Tapi dasar pertama dan utamanya adalah penguatan sektor andalan negara. Pangan dan energi jadi urgensi. Sementara sektor kelautan, kebudayaan, agama dan teknologi jadi keniscayaan. Maka transformasi lembaga penelitian menjadi Badan Riset dan Inovasi Nasional atau BRIN menjadi momen penting untuk mewujudkan angan-angan kemakmuran dan kemajuan, yaitu kita mampu berdaulat dalam bidang politik, berdikari dalam ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan. Karena di ruang ini, semua ilmuan punya hak yang sama untuk melakukan penelitian dan mengabdikan kemampuannya untuk bangsa dan negara.

Bapak ibu hadirin sekalian. Ilmu pengetahuan harus jadi motor penggerak utama di seluruh sektor kehidupan bernegara. Saudara-saudara yang hari ini diwisuda, jangan rela banting setir untuk jadi apa saja. Bergeraklah sesuai ilmu pengetahuan yang kalian kuasai. Jika kemarin-kemarin kita masih santai dan bakal menerima kerja di bidang apa saja, tanggalkan togamu. Negara ini masih memerlukan banyak para ahli ekonomi, ahli farmasi, hukum, ahli psikologi, pariwisata, teknik sampai ahli ilmu komunikasi. Kalau perlu, lanjutkan kuliah lagi agar semakin dalam ilmu yang kita selami. Jangan biarkan pemerintah kelimpungan dalam mengeluarkan kebijakan karena negara kekurangan orang yang melakukan penelitian. Jangan biarkan pemerintah mengeluarkan kebijakan ngawur karena tidak ada ahli yang bisa mengukur. Jika semua itu bisa kita wujudkan, berarti benar-benar api perjuangan para pendahulu yang kita terima, bukan abunya. Terimakasih.

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

*Ini adalah naskah pidato Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo di Universitas Pancasila Jakarta, Selasa, 1 November 2022