Terbit
13/4/2022
Diperbarui
13/8/2022

Mimpi Masyarakat Adil dan Makmur

Ada empat gejala kehancuran bagi negara yang tidak adil. Yakni, disorientasi, distrust, disobidience, dan disintegrasi.
Freepik.com

SALAH satu cita-cita dan tujuan Indonesia merdeka adalah mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Hingga kini, 76 tahun Indonesia merdeka. Selama itu, 12 kali kita menyelenggarakan pemilu, sejak pemilu pertama pada 1955 hingga 2019—sebanyak lima pemilu digelar pasca reformasi 1998.

Namun, tanpa mengurangi penghargaan pada pencapaian-pencapaian yang ada, semua pemilu itu belum berhasil mewujudkan harapan besar para pendiri bangsa, juga seluruh rakyat Indonesia. Yakni, terwujudnya masyarakat adil dan makmur. Hakikat adil dan makmur itu masih mimpi sehingga menjadi kendala menuju cita-cita Indonesia Emas 2045.

Ada sejumlah syarat yang diperlukan menuju Indonesia Emas 2045, yakni kemerdekaan, kedaulatan, keadilan, dan kemakmuran. Syarat kemerdekaan dan kedaulatan sudah terpenuhi seiring dengan telah diakuinya dua hal tersebut oleh negara-negara lain di dunia.

Sebagai negara, secara politik kita sudah merdeka, bersatu. Secara politik pula, kita juga sudah berdaulat, karena semua negara di dunia mengakui Indonesia sebagai negara yang memang berdaulat.

Yang masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah dan semua warga bangsa ialah bagaimana mewujudkan Indonesia yang adil dan makmur itu agar Indonesia Emas yang dicanangkan pada 2045 dapat terealisasi.

Gangguan utama kita adalah kurangnya kebersatuan, orang yang berbeda dianggap musuh. Hal itu semakin merebak di dalam narasi-narasi pembicaraan tentang keyakinan, tentang pembinaan rumah ibadah, dan sebagainya.

Gangguan kedua adalah ketidakadilan. Jika ketidakadilan terjadi, maka proses menuju Indonesia Emas 2045 niscaya akan sulit dicapai. Bersatu tidak, adil juga tidak.

Tentang ini, catatan menarik disampaikan Ganjar Pranowo, politisi PDI Perjuangan juga Gubernur Jawa Tengah. Menurut Ganjar, ada empat gejala kehancuran bagi negara yang tidak adil. Yakni, adanya disorientasi (penyimpangan), distrust (ketidakpercayaan), disobidience (pembangkangan), dan disintegrasi (tidak bersatu).

Perkembangan bangsa-bangsa di dunia selalu hancur dengan cara ini. Begitu pula hancurnya kerajaan-kerajaan Indonesia yang dulu pernah berjaya, dipicu oleh keempat hal tadi.

Itu sebabnya, Ganjar menekankan, kebersatuan dalam keberagaman ialah sebuah keharusan. Apalagi, kemerdekaan Indonesia sendiri diperoleh setelah bersatu di dalam perbedaan.

Ganjar menambahkan, kemerdekaan yang kita rasakan saat ini bukanlah akhir dari perjuangan. Banyak hal masih perlu kita perjuangkan untuk menjaga keutuhan NKRI dan mewujudkan cita-cita bangsa yang dapat memberikan kehidupan adil dan makmur bagi setiap warga. Mimpi harus dipelihara, karena mimpi adalah visi.

Pada era sekarang, banyak orang yang lebih mementingkan diri sendiri ketimbang kepentingan bangsa. Hal itu harus selalu kita hindari. Ganjar kemudian mengutip ungkapan Bung Karno berikut ini: ”Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, namun perjuangan kalian akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri”.

Ungkapan Bung Karno menegaskan sekali lagi, kemerdekaan bukanlah akhir dari perjuangan. Saat ini kita harus mengisi kemerdekaan dengan terus berjuang melawan semua hal yang dapat menghambat Indonesia menjadi bangsa yang maju, adil, dan makmur.

Yang perlu dipahami, utamanya generasi muda, kita tidak dapat duduk santai tanpa melakukan apa pun. Sejarah mencatat, banyak generasi muda ikut terlibat melawan penjajahan. Orang muda sebagai generasi penerus saat ini juga harus terus berjuang mewujudkan kehidupan bermasyarakat yang adil dan makmur.

Indonesia memerlukan perubahan di segala bidang agar bisa menjadi negara berdaulat, bersatu, adil, dan makmur sesuai cita-cita proklamasi. Untuk dapat melakukan perubahan, Indonesia harus dipimpin oleh orang yang bersih, tegas, punya visi, dan dekat dengan rakyat.

Saat yang sama, elite dan partai politik sebaiknya menyiapkan regenerasi kepemimpinan nasional melalui kader-kadernya dalam Pemilu 2024, ketimbang sibuk mewacanakan pengunduran pemilu atau perpanjangan masa jabatan presiden. Isu tersebut telah ditampik oleh Presiden Joko Widodo, sehingga tidak relevan lagi untuk diwacanakan.[]