Terbit
12/4/2022
Diperbarui
13/8/2022

Otonomi Daerah Menguatkan Republik

Pandemi menguji kesanggupan mengelola otonomi daerah. Ini tulang belakang penyatu "rusuk-rusuk" Republik.
Foto: freepik.com
Ganjar Pranowo

KITA mendapat cerita dan tantangan komplit di masa pandemi ini. Dari tataran individu sampai pemerintahan, mulai level RT sampai pemerintah pusat. Perca-perca persoalan dalam penanganan pun beraneka rupa. Dari kenjlimetan refocusing anggaran, perbedaan data antara daerah dengan pusat, vaksinasi sampai penyelewengan kewenangan yang berujung korupsi maupun kolusi.

Pada tataran itulah sebenarnya kita punya senjata ampuh sebagai relpemadu-padan seluruh langkah, yakni otonomi daerah.

Covid-19 tidak hanya berdampak pada bidang kesehatan, tetapi juga berpengaruh pada aspek politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan, serta kesejahteraan masyarakat di Indonesia. Kondisi perekonomian yang tidak baik akibat Covid-19 itu dapat memicu krisis ekonomi di negara ini.

Maka, diperlukan strategi dan upaya yang komprehensif dalam percepatan penanganan Covid-19.

Karena pandemi ini dirasakan semua orang, sebuah perlawanan dari semua orang juga mesti dilakukan sebagai penguat kehidupan. Di JawaTengah, lahirlah gerakan Jogo Tonggo, sebuah pengejawantahan spirit gotong royong yang selama ini bertumbuh kembang di kehidupan masyarakat, yang terbiasa saling menjaga, membantu, mengingatkan dan lain sebagainya.

Gerakan Jogo Tonggo itu kita kenalkan kembali kepada bupati/walikota, juga kepada 7.809 kepala desa di Jawa Tengah. Karena laku yang dijabarkan dalam Jogo Tonggo itu tidak asing bagi masyarakat, mereka pun dengan gampang menerapkan gerakan itu di lingkungan masing-masing sampai level RW, bahkan RT.

Di masa-masa awal pandemi, atau awal April 2020 saya bersepeda motor ke beberapa desa di Kabupaten Kendal dan Batang. Ada tiga desa yang menerima sekitar 50 warga yang nekat pulang kampung.

Karena sebelumnya teman-teman kepala desa telah mendapat Jogo Tonggo Kit atau Panduan Penerapan Jogo Tonggo, mereka memilih langsung bertindak dibanding ngomel-ngomel pada warganya yang pulang dari perantauan itu. Ruang isolasi, disinfektan, masker, APD sampai konsumsi pun sudah siap.

Meski tidak semua desa menerapkan, banyak yang memanfaatkan fasilitas yang ada untuk jaga-jaga. Misalnya, pos kamling yang biasanya untuk ronda, diubah sebagai pos pengawas untuk melihat adakah orang dari wilayah lainyang masuk ke kampung setempat atau tidak.

Balai desa diubah jadi tempat isolasi dan lain sebagainya. Optimalisasi peran masyarakat itulah yang ditekankan dalam gerakan Jogo Tonggo. Agar semua memiliki kesadaran sama untuk selamat dan saling menyelamatkan diri dari pandemi.

Bukan berarti ketika masyarakat gerakannya sudah sedemikian cepat, pemerintah lantas minggat. Tidak. Setelah kekuatan dan kesadaran masyarakat terkumpul, kita suplai beberapa bantuan. Dari bantuan tunai, bantuan sosial, berupa paket sembako sampai pendampingan usaha bagi pelaku usaha kecil dan menengah.

Ada 1,29 juta paket sembako yang disalurkan kepada masyarakat yang terbagi dalam dua tahapan. Agar memicu perputaran perekonomian, dalam pembagian paket sembako itu kita menggandeng Badan Usaha Milik Desa yang bekerja sama dengan toko kelontong atau petani setempat.

Sementara untuk pendampingan dan bantuan usaha kecil dan menengah, anggaran sekitar Rp 10 miliar kita gelontorkan. Tentu itu masih jauh dari cukup. Maka dari itu, kita juga memanfaatkan potensi sumber pendanaan lain agar turut mengangkat semangat usaha pelaku UMKM, baik dari CSR maupun Baznas.

Jogo Tonggo adalah cerita gotong royong menyelesaikan persoalanpelik bernama pagebluk Covid 19. Penyelesaian ini tidak mengenal suku, agama,ras, golongan ataupun kelompok. Maka, siapa pun mereka dan dari mana pun asal mereka, selama di masa sulit ini mereka berada di Jawa Tengah, kehidupannya menjadi tanggung jawab saya.

Sejak awal pandemi menyerang, saya tersadar betapa banyaknya ribuan pelajar atau mahasiswa luar daerah yang merantau di sini.

Satu persatu asrama mereka, entah dari Aceh, Sumatera Utara,Padang, Lampung, Kalimantan Utara, Papuan, NTT, Makassar, Ambon dan sebagainya, saya sambangi. Kebutuhan hidupnya kita bantu dengan bantuan sembako.

Bantuan juga kita kirim pada saudara-saudara kita warga Jawa Tengah yang ada di luar daerah. Ada puluhan ribu paket sembako yang kita bagikan di Jakarta, Jabar, Jatim, Banten dan daerah lainnya.  

Tapi, karena otonomi daerah bukan sekadar membicarakan kemandirian, tapi juga kreasi daerah, kita memutar otak agar di masa pandemi ini bisa kita temukan celah di balik kesempitan.

Bahkan, saya meyakini, pandemi ini sebagai laboratorium jika kita hendak menuju negara yang berdikari. Di antaranya ketika di masa-masa awal pandemi kita kesusahan masker, APD, hand sanitizer sampai ventilator.

Karena kita telah menggerakkan basis sosial dalam Jogo Tonggo, untuk mengatasi kekurangan itu, kekuatan sosial kembali kita optimalkan. Pelaku usaha di bidang tekstil, kita gerakkan agar mereka memproduksi masker sebanyak-banyaknya.

Teman-teman tenaga kesehatan di RS dr. Moewardi akhirnya juga turut bergerak untuk mengatasi kekurangan APD, dan akhirnya menular ilmunya ke berbagai rumah sakit lainnya.

Kekuatan-kekuatan kreasi dan inovasi kita gerakkan bersama demi mencukupi kebutuhan dalam negeri ketika seluruh dunia mengalami kekurangan.

Kelumpuhan juga hampir menyentuh dunia kesenian di masa pandemi ini. Maka, pada kelompok pemeriksa keadaan, yakni para seniman, kita buka Panggung Kahanan.

Ruang pertunjukan virtual sekaligus ajang pengumpulan donasi untuk para seniman. Dari donasi yang terkumpul dari berbagai kalangan masyarakat dan khususnya para pengusaha itu, lebih dari 2.500 seniman kita data untuk menerima bantuan.

Ada tiga jenis bantuan yang bisa diakses, yakni bantuan langsung tunai senilai Rp1 juta, bantuan pertunjukan inovasi senilai Rp2,5 juta dan bantuan kolaborasi yang mencapai Rp4 juta.

Tidak hanya berhenti satu dua atau tiga bulan, ruang Panggung Kahanan juga masih terus bergulir sampai sekarang.

Seluruh skema penanganan dan pengendalian pandemi itu memang memakan biaya yang sangat besar. Refocusing anggaran yang jadi perintah dari pemerintah pusat juga kita lakukan.

Memang anggaran-anggaran dalam posisi kedaruratan ini agak luwes. Keluwesan ini kalau kita tidak prudent, tidak hati-hati, tidak bisa akuntabel, maka akan jadi persoalan. Contohnya sudah ada.

Untuk itu, gaya pengelolaan anggaran di masa-masa seperti ini harus diubah. Dari pengelolaan dengan gaya kuasa menjadi gaya yang lebih transparan dan akuntabel.

Di Jawa Tengah, sebelum anggaran dari refocusing itu dieksekusi, inspektorat turun tangan untuk mengawasi dalam rangka mengurangi atau, bahkan menutup potensi penyelewengan anggaran.

Otonomi ini adalah pintu besar kemajuan, tapi juga sebaliknya, kita perlu mewaspadai kecenderungan pemanfaatan situasi oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab.

Maka, sebenarnya, otonomi daerah atau otda ini adalah tulang belakang penyatu "rusuk-rusuk" di tubuh kita. Negara kita semakin kuat dengan lahirnya otda.

Negara kita perkembangannya semakin cepat dengan implementasi peraturan-peraturan otda. Bukan hanya infrastruktur, tapi juga sumber daya manusia.

Bahkan, dengan otda kita sudah satu langkah di depan ketika persoalan besar menerpa Republik ini, pandemi saat ini contoh konkretnya. Tap,i harus diingat, otda bukanlah federasi, se-otonom-otonomnya daerah masih ada pemerintah pusat dan regulasi yang harus diikuti penuh integritas dan etika.[]