Terbit
10/7/2022
Diperbarui
13/8/2022

Percontohan Gerakan Cinta Zakat Nasional

Baznas Nasional merekomendasikan Jateng sebagai provinsi dengan praktik baik kebijakan zakat ASN level nasional.
Ilustrasi. Foto: freepik.com

MESKI sering disebut uang rakyat, dana yang dikelola pemerintah daerah tak bisa digunakan sembarangan. Semua peruntukkannya harus sesuai dengan perencanaan yang dituangkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah atau APBD.

Setiap tahun, APBD disusun dan disepakati bersama oleh pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Faktanya, sering kali ditemukan adanya kebutuhan dana mendesak, tapi anggarannya tidak tercantum dalam APBD. Bisa jadi karena saat APBD disusun masalahnya belum terendus. Bisa juga karena keterbatasan anggaran. Walhasil, problem di masyarakat tak bisa diselesaikan cepat.

Di awal-awal menjabat sebagai Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo sering menghadapi kendala serupa. Untungnya, kendala itu tak berlarut-larut.

Solusinya adalah memaksimal penggunaan dana zakat yang dikelola oleh Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) Jawa Tengah.

Kita tahu, zakat adalah bagian tertentu dari harta yang wajib dikeluarkan oleh orang Islam dan diberikan kepada golongan yang berhak menerimanya. Salah satu jenisnya adalah zakat penghasilan. Umumnya, jumlah zakat penghasilan yang dibayarkan senilai 2,5 persen dari total penghasilan bulanan.

Tak seperti APBD yang membutuhkan waktu lebih lama dengan mekanisme ketat, penyaluran zakat bisa lebih cepat.

Karena itu, sejak 2017 Ganjar Pranowo mengeluarkan surat edaran yang mewajibkan Aparatur Sipil Negara (ASN) di Jawa Tengah membayar zakat.

Pada awalnya, pengenaan zakat masih  hanya pada Tunjungan Perbaikan Penghasilan (TPP) yang diperoleh ASN, belum mencakup keseluruhan penghasilan yang diterima ASN.

Seiring berjalannya waktu, pada 2019 Ganjar menerbitkan surat edaran pengenaan zakat 2,5 persen untuk keseluruhan gaji yang diterima ASN dan berlaku hingga sekarang.

Hasilnya sungguh luar biasa. Baznas mencatat, pada 2016 jumlahnya masih Rp8,5 miliar per tahun, pada 2017 jumlahnya melonjak lebih dua kali lipat menjadi Rp18,2 miliar.

Angka itu terus bertambah setiap tahun. Pada 2018 naik menjadi Rp31,7 miliar, lalu naik lagi menjadi Rp48,9 miliar pada 2019. Pada 2020 dan 2021, jumlahnya meroket menjadi Rp54,9 miliar dan Rp 57,2 miliar.

Perolehan itu menempatkan Jawa Tengah sebagai provinsi yang pertumbuhan zakatnya tertinggi se-Indonesia sejak 2019.

Atas capaian itu, Baznas Nasional merekomendasikan Jawa Tengah sebagai provinsi dengan best practice (praktik baik) kebijakan zakat ASN pada level nasional.

Ketika Presiden Joko Widodo meluncurkan program Gerakan Cinta Zakat pada 21 April 2021, Baznas Nasional menjadikan Jawa Tengah sebagai percontohan.

Pada Januari 2022, Baznas RI memberi penghargaan kepada Ganjar Pranowo sebagai Gubenur Pendukung Gerakan Zakat Indonesia.

Ganjar juga membawa Jawa Tengah mendapat dua penghargaan lain dari Baznas, yakni Provinsi dengan Koordinasi Pengelolaan Zakat Terbaik serta Provinsi/Kabupaten/Kota dengan Inovasi Pengumpulan Zakat Terbaik.

Ketua Baznas RI Profesor K.H. Noor Ahmad mengapresiasi apa yang telah dilakukan Ganjar. Dia menegaskan, apa yang dilakukan Ganjar menjadi percontohan untuk gubernur lain.

"Gubernur Jawa Tengah itu luar biasa dalam mendorong penyaluran zakat. Kalau seandainya satu tahun itu boleh memberikan Baznas Award sepuluh kali, saya kasih sepuluh kali (untuk Jawa Tengah). Kekuataan zakat yang ada di Indonesia datang dari Jawa Tengah," kata Noor Ahmad seperti dikutip dari sebuah tayangan YouTube.

Penggunaan Zakat

Lantas, ke mana saja uang zakat itu disalurkan? Baznas Jawa Tengah mencatat uang dana tersebut digunakan untuk pengentasan kemiskinan melalui dua program yakni program zakat konsumtif dan zakat produktif.

Zakat konsumtif diberikan untuk memenuhi kebutuhan dasar penerima seperti bantuan fakir miskin, renovasi rumah kaum miskin dan pondok pesantren, beasiswa pendidikan dan pelayanan kesehatan.

Sementara, zakat produktif diberikan bagi mereka yang sudah terpenuhi kebutuhan dasar, seperti modal usaha dan pelatihan pemberdayaan masyarakat.

Sebagai contoh, mari melihat realisasi penyaluran sepanjang 2021 seperti dicatat Baznas Jawa Tengah, antara lain:  

• bantuan rumah layak huni senilai Rp3,2 miliar

• bantuan warga miskin Rp149 juta

• Rehab 110 masjid senilai Rp2,9 miliar

• Rehab 74 mushala senilai Rp1,5 miliar

• Rehab 81 pondok pesantren senilai Rp2,1 miliar

• Rehab 97 madrasah dan sekolah senilai Rp2,1 miliar

• Rehab 36 tempat pengajian alquran senilai Rp740 juta

• Beasiswa senilai Rp8,9 miliar

Selain itu, ada juga pemberdayaan mualaf Rp250 juta, bantuan bencana alam 10 lokasi senilai Rp460 juta, pemberdayaan ekonomi produktif 1.632 orang senilai Rp 3,1 miliar, pemberdayaan imam dan muadzin 26 orang senilai Rp 26 juta, jambanisasi 50 unit senilai Rp95 juta.

Kemudian, bantuan untuk ibnu sabil 20 orang senilai Rp1,7 juta, pemberdayaan penyuluh agama Islam 422 orang senilai Rp592 juta, paket anak sekolah yang orang tuanya meninggal akibat Covid-19 sebanyak 1.678 orang senilai Rp228 juta, biaya kesehatan 984 orang senilai Rp11 miliar, serta pelatihan kerja untuk 5.578 orang.

Dalam sebuah kesempatan, Ganjar mengisahkan bagaimana dana zakat itu membantu mengatasi masalah sosial secara cepat yang tak mungkin dilakukan jika menggunakan dana APBD. Seringkali, warga terdampak bencana tidak terbantu oleh APBD, tapi dapat dibantu Baznas.

"Dana zakat ini bisa menyelesaikan masalah di masyarakat tanpa banyak rapat," kata Ganjar.[] YAS