Politik itu Bertindak Sewajarnya Saja

PADA masa awal mengintip dunia politik saat mahasiswa, ungkapan SoeHok Gie itu terus saja terbayang-bayang. Membuat saya gamang, haruskah terjun ke dunia politik atau berlalu begitu saja seperti seekor itik di hadapan gembalanya.
Tapi di sisi lain, Trisakti Bung Karno yang memimpikan kita mesti berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian dalam berkebudayaan, tak bisa lepas dari angan-angan. Karena bagi saya, Trisakti adalah mimpi terbesar setelah proklamasi kemerdekaan. Dan, kita semua yang berdiri di atas bumi Indonesia ini, punya kewajiban sama untuk merealisasikan mimpi itu.
Lantas, bagaimana merealisasikan mimpi itu? Adakah cara untuk merealisasikan mimpi itu tanpa melalui jalur politik? Bukan maksud saya men-downgrade, tapi cita-cita Trisakti itu terlalu besar jika harus diwujudkan lewat jalannya para pengusaha. Cita-citaTrisakti itu terlalu lebar jika harus diciptakan dari jalannya para seniman, pemuka agama, tenaga pendidikan sampai ilmuwan.
Kalaupun semua profesi itu memiliki peluang, tapi peluang yangmereka miliki tidak sebesar dibanding dengan perjuangan di jalur politik. Karena dari jalur politiklah keputusan bisa kita lahirkan, ketetapan-ketetapan bisa kita hadirkan dan arah bisa kita tentukan.
Akhirnya seiringnya waktu ada satu ungkapan yang membuat saya mak plong, membuat dada saya lega. “Jika politik itu kotor, maka isilah dengan orang-orang bersih. Karena bukan politiknya yang kotor, tapi manusianya. Maka, gantilah mereka yang kotor itu.”
Saya masih ingat pada pekan pertama setelah dilantik sebagai gubernur Jawa Tengah pada 2013 silam. Selama beberapa hari, satu persatu kepala dinas tanpa saya undang datang menghadap ke kantor. Permintaannya satu: jabatannya dipertahankan. Setelah menyampaikan tujuan, segepok uang mereka sodorkan. Melihat itu, permintaan saya juga satu: ambil uangnya atau jabatanmu hilang.
Setelah saya telusuri. Cara seperti itu memang sudah jadi kebiasaan di kalangan pejabat. Sudah jadi rahasia umum, bahwa kejadian seperti itu bukan hanya ada di Jawa Tengah. Godaan seperti itu ada di mana-mana. Pada level pemerintahan paling bawah sampai teratas.
Jika keadaannya demikian, bagaimana bisa kita membantah ungkapan Soe Hok Gie di atas? Politik memang barang paling kotor, lumpur yang kotor. Sekarang pilihan bergantung pada kita, ketika kita sudah terjun ke dunia politik, mau ikut nyebur ke lumpur atau menghilangkan sedikit-demi sedikit lumpur kotor itu. Dan, apa pun yang kita pilih, memerlukan energi besar untuk melakukannya. Sangat besar.
Ketika memutuskan terjun ke dunia politik, harapan saya cuma satu, apa pun amanah yang diterima sebisa-bisanya saya jalankan dengan wajar dan sehormat-hormatnya. Dengan harapan itu, maka saya menginginkan lahirnya sistem pemerintahan yang wajar dan terhormat.
Karena tugas pemerintah wajarnya melayani, ya layanilah masyarakat. Karena sesungguhnya yang jadi tuan itu adalah rakyat, dan jabatan itu cuma mandat. Tidak lebih. Jika laku sewajarnya bisa kita pegang teguh, maka predikat sebagai yang terhormat akan datang dengan sendirinya. Karena kehormatan itu tidak bisa kita cari, dia akan datang sendiri berdasar perilaku kita.
Jika kita bertindak sewajarnya, tidak akan ada lagi rasa was-was dan khawatir. Kita tidak akan gentar jika ada orang atau lembaga hendak mengevaluasi atau mengawasi. Entah itu lembaga negara, lembaga masyarakat,maupun media. Karena wajarnya keuangan daerah bisa dilihat siapa pun, ya sudah akses ke sana buka saja selebar-lebarnya. Karena masyarakat kita sekarang menggandrungi teknologi, ya sudah, apa pun programnya pemerintah mesti mengacu ke sana.
Jangan ada yang disembunyikan apalagi ditutup-tutupi. Karena sedalam apa pun dikubur, jika itu bangkai pasti akan tercium. Maka, saya memilih tetap mboten korupsi, mboten ngapusi.Tidak korupsi, tidak membohongi. Setelah spirit itu saya deklarasikan, maka wajib hukumnya bagi seluruh aparatur di Pemprov Jateng untuk mengamalkannya. Dan, inilah sebuah keputusan yang tidak bisa kita hadirkan selain lewat jalur politik.
Tapi, berlaku sewajarnya itu bukanlah berlaku lugu. Beda. Berlaku sewajarnya itu adalah pengejawantahan dari kemampuan intelektual, kemampuan advokasi, dan menggerakkan massa. Jika mau berlaku sewajarnya, kuasailah tiga pilar kemampuan itu.
Agar dunia politik yang katanya kotor itu, bisa kita isi dengan orang-orang baik, yang akan mewujudkan cita-cita Trisakti Bung Karno, yang bangunannya saat ini sudah mulai terlihat jelas. Semoga jiwa raga kita selalu diberi kekuatan untuk menebar kebaikan. Terima kasih.[]