Terbit
10/11/2022
Diperbarui
10/11/2022

Revolusi Pendidikan

Hanya dengan pendidikan inilah, cita-cita kemandirian bisa wujudkan. Kita bisa berdikari dalam hal ekonomi, jika semakin dalam ilmu pengetahuan yang kita selami.
Sumber foto: Freepik.com
Ganjar Pranowo

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Salam Sejahtera untuk Kita Semua. Om Swastiastu. Namo Buddhaya. Rahayu.

(Dibaca biasa tidak dinyanyikan)

Indonesia, Tanah Airku

Tanah tumpah darahku

Di sanalah aku berdiri

Jadi pandu ibuku

Indonesia, kebangsaanku

Bangsa dan Tanah Airku

Marilah kita berseru

Indonesia bersatu

Hiduplah Tanahku

Hiduplah Negeriku

Bangsaku, rakyatku, semuanya

Bangunlah jiwanya

Bangunlah badannya

Untuk Indonesia Raya

Indonesia Raya, merdeka! Merdeka!

Tanahku, Negeriku yang kucinta

Indonesia Raya, merdeka! Merdeka

Hiduplah Indonesia Raya!

Itulah lirik lagu paling dahsyat yang pernah lahir di atas tanah air ini. Tepat hari ini pada 93 tahun silam, saat kongres atau sumpah pemuda tahun 1928 lagu itu pertama kali dikumandangkan oleh penciptanya, Wage Rudolf Soepratman. Saat mempublikasikan karyanya itu, Soepratman juga menyebut bahwa Indonesia Raya menjadi Lagu Kebangsaan. Padahal, pada tahun 1928, Indonesia belum lahir. Negara Kesatuan Republik Indonesia masih di angan-angan, masih berupa rumusan yang mesti diwujudkan. Maka, dalam bait pertama lagu itu, WR. Soepratman menyebut, “di sanalah aku berdiri” bukan “di sinilah aku berdiri”.  Karena arti kata “di sini” waktu itu, masih menunjukkan bahwa tanah air ini masih diliputi penjajahan. Karena yang diimpi-impikan, yang dicita-citakan masih jauh di sana yaitu Indonesia Raya. Maka, marilah kita berseru Indonesia bersatu.

Bapak ibu para hadirin.

Hari ini saya ingin mengajak saudara sekalian untuk membayangkan kondisi tanah air ini di masa silam. Susah, sudah pasti. Sakit, jadi makanan setiap hari. Bahkan mungkin, antara sedih dan bahagia sudah tidak ada lagi bedanya. Orang-orang merasa putus asa di dalam kelumpuhan. Mereka menenangkan orang menangis sambil menangis. Mereka mengobati orang sakit sambil merasakan sakit. Karena semua lemah di hadapan penjajah. Semua kalah dengan kekuatan penjajah. Lebih menyakitkan lagi, kita ini seperti orang kemalingan yang justru membantu para pencuri mengeluarkan berbagai macam harta yang kita miliki dari rumah kita sendiri. Sampai akhirnya datanglah sebuah mantra yang paling ajaib, yaitu persatuan. Di manapun orang-orang meneriakkan persatuan. Di Jawa, di Madura, di Kalimantan, Sumatera, Bali, Sulawesi sampai Ambon. Siapapun juga meneriakkan mantra persatuan itu. Mulai dari Jong Java, Jong Ambon, Jong Batak, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, Jong Celebes, Pemuda Betawi, PPPI, Sekar Rukun dan lain sebagainya. Dengan mantra itu mereka merasa bersaudara. Meski tidak sedarah, tapi Jong Java merasakan denyut nadi Jong Celebes. Meski tidak sekandung, Jong Ambon, Batak, Java, Sumatera, Betawi, Bali, Kalimantan sampai sulawesi dilahirkan dari rahim yang sama yaitu dari rahim ibu pertiwi. Akhirnya mereka bisa tinggal dalam satu kamar dan berangan-angan mendirikan sebuah negara yang berdiri di atas semua golongan. Jika sebelum tahun 1926 sudah ada gerakan persatuan yang sifatnya masih sesuai golongan, maka setelah tahun itu perbedaan golongan, perbedaan ras, suku bahkan agama tidak lagi dipersoalkan. Dan Kongres Pemuda, atau yang saat ini kita sebut sebagai Sumpah Pemuda jadi puncak pergerakannya, yang mendeklarasikan mereka bertanah tumpah darah yang satu, tanah air Indonesia, mereka berbangsa satu yaitu bangsa Indonesia dan menjunjung bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia.

Mungkin kita bertanya-tanya, mengapa selama ratusan tahun penjajahan bertahan di atas tanah Sumatera, Jawa, Kalimantan, Madura, Bali, Sulawesi, Ambon sampai ke pulau timur jauhnya? Bukankah di wilayah-wilayah itu berdiri kerajaan-kerajaan? Bukankah mereka punya kekuatan? Bukankah jumlah manusianya jauh lebih banyak? Dengan semua itu mengapa penjajahan tidak bisa disingkirkan? Kalaupun atas nama perdagangan, mengapa kita sebagai pemilik lahan dan pemilik barang tidak menerima keuntungan? Jawabannya adalah karena pendidikan. Karena ilmu pengetahuan. Karena pengalaman, wawasan dan pergaulan. Bagaimana orang mau mendirikan sebuah negara, jika pengetahuan tentang negara tidak punya? Bagaimana orang bisa menciptakan negara, jika imajinasi tentang negara saja tidak ada? Dan bagaimana orang mau punya pengetahuan dan imajinasi jika tidak pernah merasakan pendidikan? Mimpi dan angan-angan apapun akan terwujud jika kita berpendidikan.

Pertengahan tahun 2019 lalu bapak ibu, saya menerima surat dari seorang pelajar. Namanya Fajar. Dia bercerita tentang ibunya yang bekerja sebagai buruh tenun di Kabupaten Pemalang. Dalam seminggu, gaji ibunya cuma 23 ribu. Padahal ada empat orang harus dihidupi. Nenek, kakaknya yang sakit-sakitan, adiknya yang masih SD serta dirinya yang baru baru lulus SMP. Melihat kondisi ibunya itu, dia tidak berani bermimpi untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Sampai akhirnya dia tahu ada SMKN Jateng Boarding School, yang semua biaya pendidikan, biaya hidup ditanggung pemerintah. Akhirnya dia mendaftar dan diterima. Bapak ibu tahu, sekarang dia di mana? Setelah di wisuda bulan Juni kemarin, dia resmi bekerja di perusahaan tambang batubara terbesar kedua di Indonesia. Fajar ini bukan satu-satunya anak yang mampu memperbaiki perekonomian dan menganggkat derajat keluarganya. Ada jutaan putra putri Indonesia yang derajatnya terangkat karena menerima pendidikan lebih baik. Kita semua paham hukum alam itu. Dan kita juga paham bahwa tata kelola pendidikan di negara ini masih perlu perbaikan.

Sebenarnya bapak ibu, pondasi perbaikan itu telah kita lakukan dengan mengalokasikan 20 persen anggaran pemerintahan untuk pendidikan. Tapi justru kita sering merasa kelimpungan untuk ngurus peraturan dan hal-hal yang sifatnya teknis. Dan melupakan hal-hal esensial. Kita justru lebih sibuk ngurus penambahan kelas dibanding ngurus penambahan buku bacaan. Kita justru lebih sibuk mencari nilai tambahan dibanding melakukan penelitian. Kita justru lebih sedih batal liburan dibanding tertinggal pelajaran. Ruang-ruang diskusi tidak ada, sementara ruang-ruang nggosip di mana-mana. Lantas siapa yang bisa memperbaiki? ya kita kita ini. Masak mau menghadirkan penjajah lagi?

Harus dimulai dari diri sendiri. Yang pelajar dan mahasiswa, ayo perbanyak buku bacaan dan latihan-latihan. Main tidak apa-apa. Ngegame tidak masalah. Tapi jangan lupa diskusi ketika di rumah apalagi di sekolah. Para guru dan dosen, ingat, jadi pengajar bukan batas akhir untuk belajar. Penelitian juga tidak selamanya bergantung pada anggaran. Para pengelola sekolah maupun lembaga pendidikan, ayo perbaiki dan tambah koleksi di perpustakaan. Tingkatkan juga kualitas laboratorium. Buka ruang untuk meningkatkan keterampilan pelajar. Karena itu tidak kalah penting dari ruang kelas. Sementara untuk teman-teman di dinas dan kementerian, jangan jadi penghambat dengan melahirkan berbagai macam aturan. Sebagai pemeriksa keadaan, para ahli harus sering turun gunung untuk mengawasi dan mengevaluasi. Revolusi pendidikan harus kita lakukan. Jangan sampai pada peringatan satu abad sumpah pemuda, para pemuda kita masih jadi biasa-biasa saja. Dunia pendidikan ini harus jadi penggerak terdepan untuk mencapai kemakmuran dan kemajuan sebelum peringatan satu abad kemerdekaan.

Dan yang paling penting, bapak ibu hadirin sekalian. Cuma dengan pendidikan inilah, cita-cita kemandirian bisa wujudkan. Kedaulatan dalam bidang politik, cuma bisa dicapai dari pemikiran terbaik. Kita bisa berdikari dalam hal ekonomi, jika semakin dalam ilmu pengetahuan yang kita selami. Kita mampu berkepribadian dalam kebudayaan, cuma bisa dicapai dengan pemahaman mendalam pada ilmu pengetahuan. Jika bangsa dan negara lain bisa, kita pasti bisa. Apakah selamanya kita akan manfaatkan pasir laut cuma untuk bahan penguat bangunan dan reklamasi? Padahal masih banyak sumber kekayaan yang bisa dihasilkan dari sana. Apakah selamanya akan kita kelola dengan biasa kekayaan gas yang ada di negara kita? Curah air, angin dan sinar matahari yang kaya ini apakah akan kita biarkan begitu saja? Adanya sagu, porang, jagung, ubi, padi apakah cuma akan kita manfaatkan untuk sumber karbohidrat saja? Apakah melimpahnya ikan di lautan cuma akan kita tangkap dengan cantrang saja? Masak sih kita tidak mampu produksi kapal selam dan kapal terbang sendiri? Apa kita tidak malu? jangankan kapal selam dan kapal terbang, mau produksi motor dan mobil sendiri saja kita kelimpungan. Dan itulah sebagian kecil PR yang mesti kita selesaikan lewat dunia pendidikan. Dan yakinlah, kita mampu mewujudkan itu.

Terimakasih.

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

*Ini adalah naskah pidato Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo pada peringatan Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2022. Dibacakan di Alun-alun Wonosobo.