Terbit
9/9/2022
Diperbarui
12/9/2022

Sepak Terjang di Senayan (3): Membuka Akses Publik untuk RUU Pemilu

"Pak Ganjar bukan orang yang sulit dicegat di tengah jalan untuk meminta informasi terkait perkembangan RUU," kata Lucius Karus.
Foto: TEMPO | Aditia Noviansyah

TITI Anggraini mengenang Undang-undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu sebagai salah satu produk pemilu yang baik.

Sebagai Direktur Eksekutif Perludem (Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi) kala itu, ia terlibat aktif mengawal proses penyusunan undang-undang itu demi terciptanya pemilu yang lebih baik dari sebelumnya.

UU itu menggantikan UU Nomor 10/2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD (lebih dikenal sebagai RUU Pemilu). Perubahan materinya mencapai 50 persen.

Saat penggodokan, setidaknya ada empat isu krusial yang membuat pembahasan menjadi alot: ambang batas parlemen, alokasi kursi per daerah pemilihan (dapil), sistem pemilu proporsional terbuka atau tertutup, dan metode penghitungan suara menjadi kursi.

Sebagai aktivis yang bergiat di bidang kepemiluan, Titi dan lembaganya mendorong keterlibatan publik dalam pembahasan RUU Pemilu 2012.

Itu sebabnya, Titi aktif menjalin komunikasi dengan Ganjar Pranowo yang saat itu menjadi pemimpin Panitia Kerja (Panja) di Komisi II Bidang Pemerintahan DPR RI.

Di mata Titi,  sebagai pimpinan Komisi II DPR RI saat itu, Ganjar punya visi yang sangat kuat soal penataan sistem politik, kepartaian dan sistem pemerintahan.

"Waktu itu ada suara-suara yang ingin menaikkan jumlah kursi DPR yang semula 560 orang. Tapi, karena publik tidak merespons baik, Komisi II memutuskan membatalkannya,” ujar Titi kepada Ganjarpranowo.com, awal September 2022.

Selanjutnya, “Yang terjadi justru salah satu terobosan baik dari UU Pemilu 2012 adalah mengatur prinsip-prinsip penataan daerah pemilihan. Itu pertama kali terjadi dalah sejarah pemiluan kita," ia menambahkan.

Dalam amatan Titi, Ganjar punya visi yang  jelas untuk mewujudkan sistem kepartaian dan pemilu yang efektif. Itu sebabnya, pada waktu itu diperkenalkan antara lain soal perubahan metode konversi suara menjadi kursi dan penataan jumlah kursi di daerah pemilihan.

Dengan begitu, harapannya ialah terwujd pemilu yang kredibel dan menghasilkan pemerintahan yang berorientasi pada pelayanan publik.

Meski momen itu terjadi 10 tahun lalu, Titi ingat betul  komunikasi dengan DPR melalui Ganjar saat itu relatif lebih terbuka dan partisipatoris.

Jarang terjadi perwakilan masyarakat sipil dapat dengan mudah mengakses dokumen dan duduk berdiskusi bareng tenaga ahli atau anggota DPR. Bahkan, risalah rapat dalam pertemuan tertutup pun bisa diakses.

Menurut Titi, ciri khas Ganjar adalah tidak birokratis alias tidak terikat dengan protokoler yang biasanya melekat pada pejabat lain. Itu sebabnya, hubungannya bisa lebih cair dan egaliter.

"Kalau teman-teman bertemu dengan Mas Ganjar itu tidak ada jarak. Bisa ngobrol, bisa diskusi, bercanda apalagi. Beliau terbuka, transparan, dan punya itikat baik melibat masyarakat sipil mengawal RUU yang menjadi tanggung jawab Komisi II," kenang Titi.

Saking tak ada jaraknya dengan Ganjar, suatu ketika Titi keceplosan memanggil Ganjar dengan sebutan “Mas Ganjar” dalam rapat resmi.

Mendengar itu, beberapa anggota DPR lain di ruangan itu menggoda Titi. Titi pun segera meralat sebutannya menjadi “Pak Ganjar”.

Dalam ingatan Titi yang banyak terlibat mengawal penyusunan undang-undang di DPR, momen pembahasan RUU Pemilu 2012 adalah salah satu periode yang paling membuka ruang keterlibatan masyarakat sipil.

Senada dengan Titi, Ketua Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus juga punya pengalaman serupa.

Sebagai orang yang ikut intens memantau proses pembahasan RUU Pemilu, Lucius banyak berhubungan dengan Ganjar yang menjadi pimpinan Panja DPR. Sebagai pemantau dari luar, Lucius kerap ikut ke mana saja anggota DPR membahas RUU Pemilu.

"Pak Ganjar bukan orang yang sulit dicegat di tengah jalan untuk meminta informasi terkait perkembangan RUU. Kami juga beberapa kali mengundang dia ke kantor untuk mendiskusikan hal itu," kata Lucius.

Kadang-kadang Lucius tidak dapat bergabung jika rapat berlangsung tertutup. Namun, itu tidak menjadi masalah lantaran Ganjar selalu bersedia memnginformasikan hal apa saja yang dibahas dalam rapat.

Kesan yang ditangkap Lucius, Ganjar cukup mudah untuk diajak berdiskusi. Padahal, saat itu bukan perkara mudah untuk memanggil anggota DPR.

Namun, itu tidak berlaku bagi Ganjar. Bahkan, jika ada perbedaan pandangan, Ganjar menanggapinya dengan santai.  

Ketika beberapa kali mengundang Ganjar ke kantor Formappi yang saat itu belum punya AC alias pendingin ruangan, Lucius melihat sendiri Ganjar tidak mengeluh soal itu.

"Kantor kami itu paling sederhana, tidak ada AC dan panas. tapi dia terlihat menikmati diskusinya," kata Lucius tertawa mengenang momen itu.

Bagi Lucius, kepentingan terbesar Formappi saat itu adalah mengawal proses lahirnya RUU Pemilu agar berlangsung partisipatif, melibatkan suara-suara masyarakat sipil.

Seperti Titi, Lucius juga sepakat pembahasan RUU Pemilu 2012 itu cukup partisipatif dan membuka ruang bagi masukan dari setiap elemen masyarakat.

"Dan, itu terjadi pasti berkat adanya Pak Ganjar di sana," katanya.[] YAS