Terbit
13/8/2022
Diperbarui
13/8/2022

Siti Atikoh, Cucu Kyai Penguat Suami

Buat Ganjar, peran Atik – sapaan karib sang istri – jauh lebih besar dari sekadar istri pejabat. Atik adalah ”paket lengkap” pendamping hidup. Mereka jatuh cinta ketika masa KKN.
Foto: Arsip pribadi

GUBERNUR Jawa Tengah Ganjar Pranowo dan istrinya, Siti Atikoh Supriyanti, hampir setiap pagi menjalani olah raga bersama.  Sambil berolah raga mereka bertegur sapa dengan warga layaknya tetangga. Pasangan itu menikah pada 1999, yang dipertemukan di lokasi KKN UGM 1994.

Saat itu, Ganjar sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Angkatan 1987, sedangkan Atikoh adalah mahasiswa Fakultas Teknologi Pertanian Angkatan 1990. Perkawinan mereka dikarunia seorang anak laki-laki, Muhammad Zinedine Alam Ganjar, yang kini kuliah di Fakultas Teknik UGM.

Bicara tentang Zinedine Alam, Ganjar dan Atik mengaku bangga dengan anak semata wayangnya. Remaja kelahiran 14 Desember 2001 itu juga dikenal sebagai siswa berprestasi. Ia pernah menjuarai kompetisi sains di Korea Selatan 2015. “Dari guru-gurunya, saya tahu Alam kadang juga bandel di sekolah,” kata Ganjar yang selalu datang bersama istri ke sekolah untuk mengambil rapor anaknya.

Bapak, ibu, dan anak sering tampak kompak menghadiri konser musik, pertunjukan seni, dan nonton film di mal. Mereka tidak canggung menyatu dengan penonton lainnya, dan bahkan ikut bernyanyi dan berjingkrak.

Ganjar adalah penggemar musik rock, demikian juga Atikoh dan Alam. Namun ketiganya tetap bisa menikmati alunan musik dangdut, campur sari, dan qasidahan. Tentang jenis musik yang terakhir, bisa dipahami sebab mereka berasal dari keluarga santri.

Atikoh adalah anak dari pasangan Akhmad Musodik Supriyadi  dan Astuti Supriyadi.  Akhmad adalah anak Kyai Hisyam Abdul Karim, pendiri Pondok Pesantren Roudlotus Sholihin di Pedukuhan Sokawera, Desa Kalijaran, Karanganyar, Purbalingga.

Kyai Hisyam adalah ulama besar, yang  pernah menjabat Rais Syuriah PCNU Purbalingga selama tiga periode, (1973-1983). Beliau wafat pada 12 Januari 1989. Saat ini, Pesantren Kalijaran dikelola secara gotong royong oleh keturunannya, termasuk sang cucu, Siti Atikoh.

Ganjar memang tak pernah bertemu Kyai Hisyam. Namun cerita tentang karisma kakek mertua itu sering ia dapat.

Saat mengunjungi rumah warga yang mendapat bantuan RTLH di Banjarnegara, misalnya, Ganjar kaget melihat ada foto Kyai Hisyam di rumah itu. Ketika tahu Ganjar adalah menantu Kyai Hisyam, orang itu langsung memeluk dan menciumi dirinya.

”Ternyata dulu beliau santrinya Kyai Hisyam. Lha, saya kok langsung dirangkul terus diambungi, Gus,” cerita Ganjar kepada Kyai Ahmad Bahaudin Narslaim alias Gus Baha. Gus Baha yang mendengar cerita itu dari Ganjar, terbahak. Menurutnya, itu hal biasa di kalangan santri. Istilahnya ngalap berkah sang kyai. ”Pasti langsung dicium ubun-ubunnya,” ujar Gus Baha.

Peran besar istri

Sebagai istri gubernur, Atikoh memiliki jabatan ex officio:  Ketua Tim Penggerak PKK, Ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah, Bunda PAUD Provinsi Jawa Tengah, dan lain-lain. Selain itu, Atikoh juga terpilih sebagai Kakak Ketua Kwarda Jawa Tengah.

Buat Ganjar, peran Atik – sapaan karib sang istri – jauh lebih besar dari sekadar istri pejabat. Atik adalah ”paket lengkap” pendamping hidup.  Sebelum menikah, lima tahun mereka menjalani hubungan jarak jauh, yang tak mudah. Ganjar merintis karier sebagai karyawan bagian HRD di sebuah perusahaan di Jakarta, sedangkan Atik menjadi wartawan Solopos di Surakarta.

Kesetiaan dan ketulusan Atik sudah terlihat sejak mereka masih pacaran. Keseriusan Ganjar untuk menikahi perempuan kelahiran Purbalingga, 25 November 1971, itu muncul saat dirinya melihat sang kekasih terus mendampinginya merawat Mbak Ika, kakak ipar yang mengidap kanker. Mbak Ika punya jasa besar, lantaran dialah yang membiayai sekolah Ganjar semasa SMA.

”Selama saya merawat kakak di rumah sakit, Atik menemani terus. Baju kakak dicuci, lalu bawa makanan. Saat itu, dalam hati saya bilang, 'Pasti, ini yang akan jadi istri saya kelak,” ujar Ganjar.  

Ganjar yakin memilih Atik sebagai istri lantaran  perempuan yang kemudian menjadi PNS di Pemprov DKI Jakarta itu tetap setia dan mengerti keadaannya, yang notabene berasal dari keluarga kurang mampu. ”Kalau cari orang seneng kan gampang. Cuma, saat itu semua teman saya tahu, Ganjar ini miskin. Dan, dia mengerti betul hal itu,” katanya.

Mewakafkan suami

Paket lengkap Atik sebagai istri juga terlihat dari bagaimana ia bersikap dan bertindak selaku istri gubernur. Ketika dulu sang suami terpilih sebagai gubernur, ia menyadari konsekuensinya: Ganjar akan tidak mempunyai banyak waktu di rumah, karena kesibukan menjalankan tugas.

”Ketika suami dilantik menjadi pejabat publik, saat itu juga, maaf, kita sudah mewakafkan suami untuk masyarakat. Jadi, tidak ada lagi romantisme di situ,” tuturnya. Waktu kebersamaan Atik dengan suaminya tentu sangat sedikit.  ”Kalau ada waktu, me time sama suami, ya paling olahraga pagi. Berolahraga sambil bertemu warga, dan jam 7-8 pagi sudah masuk kantor,” ucapnya.

Saking sibuknya sang suami menjalani tugas sebagai gubernur, mereka juga nyaris tak pernah punya waktu untuk liburan. Kalaupun diagendakan untuk liburan, rasanya tetap sangat sulit. ”Karena jam kerja Mas Ganjar itu 24 jam dalam tujuh hari. Nggak ada waktu libur dan untuk liburan,” tutur Atik.

Atik tak menepis fakta, cintanya kepada Ganjar, begitu juga cinta Ganjar kepada dirinya, terjadi pada pandangan pertama di lokasi KKN. ”Pertama kali saya jatuh cinta, yakni ketika melihat Mas Ganjar sedang bersosialisasi dengan masyarakat saat KKN,” kata Atik.

Menurut dia, sejak pacaran,  Ganjar tidak pernah merepotkan dirinya, begitupun sebaliknya. Atik, dan juga Alam, tak pernah mencampuri atau merepoti suami dan bapaknya selaku gubernur.

”Kalau urusan pekerjaan, saya tidak ikut campur. Tapi, kadang kami berdiskusi. Saya memberikan kritik sebagai masyarakat, tidak cuma mendukung. Namun, terkait pekerjaan tertentu, saya menghargai sebagai hak prerogatif, dan tidak menanyakan lebih jauh,” tutur Atik.

Atik menikmati kesederhanaan suaminya, demikian juga sebaliknya. Misalnya Ganjar tak memasang tinggi untuk dandan. Oleh karena itu ia tidak memiliki koleksi tas branded, bahkan tidak tahu merek-merek itu.

Berbeda halnya dengan produk lokal, ia dan Ganjar sudah seperti manekin berjalan. "Itu bagian dari promosi produk warga. Saya sudah cukup percaya diri dengan apa yang saya pakai. Saya percaya orang melihat saya dari bagaimana saya bersikap, menghargai orang lain, dan apa yang ada di kepala kita,” kata Atik.  

Sikap sederhana seperti itu tertanam sejak awal pernikahannya dengan Ganjar. Ia mengaku memulai pernikahan dengan tidak bermewah-mewah. Bahkan, bisa dibilang merangkak dari bawah.

Ketika Ganjar dinobatkan menjadi orang nomor satu di Jawa Tengah, kesederhanaan itu masih dipelihara. Dengan cara itu, Atik percaya, akan menghindarkan keluarganya dari sikap hedonis.

”Meski sudah mewakafkan suami untuk masyarakat, kami tetap menjaga keromantisan hubungan dengan berupaya meluangkan waktu untuk makan malam bersama. Di situlah, kami ngobrol dengan mematikan handphone,” kata Atik.[]