Terbit
17/8/2022
Diperbarui
18/8/2022

Yang Ada Cuma Satu. Indonesia!

Ibarat punya ladang dengan tanduran ijo royo-royo, kita pasti tidak rela jika beberapa pohon diserang hama.
Ganjar Pranowo

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Salam Sejahtera untuk Kita Semua.

Om Swastiastu. Namo Buddhaya. Rahayu.

BAPAK ibu, saudaraku sekalian. Akhir-akhir ini ramai sekali ceramah seorang yang melarang kita untuk berteman dengan orang dari agama lain.

(Diam sejenak) Bapak ibu saudaraku sekalian.

Dari ceramah itu kita jadi tahu, ternyata kita belum selesai dengan urusan dapur sendiri. Dan, itulah “PR” terbesar yang mesti segera kita selesaikan.

Sudah 77 tahun Negara Kesatuan Republik Indonesia merdeka, kok bisa-bisanya masih ada ungkapan seperti itu. 77 tahun kita diajari bahwa negara memberi kebebasan kepada kita semua untuk memeluk agama masing-masing dan beribadah menurut kepercayaannya tersebut.

Ketika negara sudah memberi jaminan besar seperti itu, kenapa justru ada orang yang mempersempit dengan memasang kawat berduri dalam kebhinekaan?

Lagi-lagi, kata kuncinya adalah Jasmerah! Jangan sekali-kali melupakan sejarah. Sejarah adalah teladan lengkap, kacabenggala besar bagi kita untuk merumuskan dan menentukan sikap hari ini sekaligus menata cita untuk masa depan.

Negara ini didirikan bukan untuk satu suku, bukan untuk satu ras, agama maupun golongan. Negara Kesatuan Republik Indonesia ini berdiri di atas kaki semua.

Bukan hanya ketika kemerdekaan diproklamasikan, sejak negara ini dirancang, sudah melibatkan banyak tokoh dari berbagai suku, berbagai ras, bermacam agama dan golongan.

Bung Karno, Bung Hatta, Otto Iskandardinata, Sam Ratulangi, Johannes Latuharhary, AA Maramis, KH Agus Salim, KH Wahid Hasyim, KH. Mas Mansoer, Liem Koen Hian Liem, Raden Nganten Siti Sukaptinah, Raden Ayu Maria Ulfah dan masih banyak tokoh lainnya yang tidak memandang apa sukumu, apa rasmu, apa agama atau golonganmu.

Apakah mereka semua sepaham? Tidak.

Semua punya pemikiran dan pandangan masing-masing. Tapi, demi dan untuk berdirinya sebuah negara bernama Indonesia, semua akhirnya melebur, menyatu, menata dan menyatukan niat.

Tidak ada lagi yang namanya perwakilan Islam, Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu, Jawa, Sunda, Maluku, Minang, Kalimantan atau Madura.

Yang ada cuma satu, Indonesia.

Sungguh tidak terbayangkan apa jadinya kita saat ini jika para pendahulu kekeh, ngotot dengan ego golongannya.

Apakah KH Agus Salim kurang saleh sehingga mau berteman dengan Jef Last, yang notabene adalah seorang nonmuslim sekaligus seorang sosialis asal Belanda?

Keimanan KH Agus Salim tak kurang secuil pun dengan keakraban itu. Bahkan, karena kebersahajaan, karena keluasan dan kedalaman ilmu KH Agus Salim, Jef Last menerima pemahaman Islam secara kaffah, secara lengkap.

Kurang alim apa coba KH Wahid Hasyim? Meski begitu, beliau mengutamakan persatuan antara muslim dan nonmuslim demi tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Masih banyak sekali teladan yang disajikan dalam sejarah tentang kiprah inklusif para founding father republik ini dalam pergaulan sehari-hari. Termasuk dari KH. Ahmad Dahlan yang banyak melakukan pembaruan Islam di Tanah Air.

Bapak ibu saudaraku sekalian.

Memang menyakitkan, jika saat ini kita masih melihat polarisasi dalam kehidupan kebhinekaan. Ibarat punya ladang dengan tanduran ijo royo-royo, kita pasti tidak rela jika beberapa pohon diserang hama.

Kita pasti tidak bisa diam membiarkan hama itu semakin meluas, menyerang semua tanduran sehingga kita gagal panen, rugi bahkan memupuskan harapan kita sebagai petani.

Maka, pupuk harus kita tebar, obat pembasmi hama harus kita semprotkan demi kemakmuran.

Kita memang tidak kuasa menghindari masalah, bapak ibu. Tapi kita punya sejuta daya untuk menghadapi dan mengatasi.

Dalam skala makro, Presiden Joko Widodo telah memberi contoh bagaimana negara kita mampu menghadapi sekaligus mengatasi berbagai krisis. Mulai dari krisis kesehatan karena pandemi, maupun krisis pangan, energi serta keuangan yang lahir karena dampak peperangan Rusia-Ukraina.

Bahkan, dalam pidato kenegaraan di depan DPR/MPR kemarin beliau menyampaikan, saat ini Indonesia berada pada puncak kepemimpinan dunia. Maka capaian tersebut harus kita imbangi dan perkuat dari daerah.

Dan, syukur alhamdulillah. Jika inflasi nasional mampu dipertahankan di angka 4,9 persen, maka Jawa Tengah memperkuat dengan kemampuan menekan inflasi di angka 4,28 persen.

Jika pertumbuhan ekonomi secara nasional tumbuh sebesar 5,44 persen, maka kita perkuat juga pertumbuhan perekonomian Jawa Tengah sebesar 5,66 persen.

Capaian itu juga kita imbangi dengan surplus perdagangan, karena ekspor kita mencapai US$ 1,1 miliar sementara impor sebesar US$ 1,09 miliar.

Bapak ibu saudaraku sekalian.

Tidak pernah tercatat perselisihan itu akan membawa kemakmuran. Suriah, Afganistan, Iraq dan Libya hancur karena permusuhan antar warganya.

Jika kita bisa berkawan, jika kita bisa berdamai kenapa mesti berselisih dan bermusuhan?

Saya salut dan mengucapkan terimakasih kepada seluruh saudaraku di Jawa Tengah yang selama ini tetep guyub rukun, saling ngajeni dan handarbeni. Tanpa rasa handarbeni dari panjenengan, mustahil kita bisa seneng dan hidup gayeng seperti ini.

Rasa bangga juga saya haturkan kepada saudara-saudaraku eks napiter yang hari ini secara khusus hadir mengikuti seluruh rangkaian upacara HUT kemerdekaan ini.

Saya sadar, jenengan telah mengalami pergolakan hati dan pikiran yang luar biasa sampai akhirnya kembali ke pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Saya secara pribadi tidak akan menyebut Anda sebagai eks napiter. Panjenengan mulai hari ini adalah saudaraku dalam iman, dalam kebangsaan dan kemanusiaan.

Sebagai saudara, sudah semestinya kita saling menjaga. Khususnya menjaga agar jangan ada lagi saudara kita yang mengadu nasib dengan cara mengancam keselamatan nyawa manusia lainnya.

Panjenengan adalah teladan komplet bagaimana sebuah rekonsiliasi, sebuah “penyatuan kembali” mesti dilakukan.

Maka, sebarlah rasa damai ini ke mana saja. Ajarkan keluargamu, tetanggamu ajarkan siapa saja untuk mencintai dan mensyukuri anugerah hidup di bumi Negara Kesatuan Republik Indonesia, agar kita meraih kemerdekaan yang sesungguhnya. Terima kasih.[]

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Ini adalah naskah pidato Gubernur Jateng Ganjar Pranowo dalam Upacara HUT ke-77 Republik Indonesia, Rabu (17 Agustus 2022).